SobatPena – BIN808.COM || Bujang lapuk atau biasa disebut pejaka senja adalah pria lajang yang belum beristri, biasanya telah memasuki usia matang atau bahkan usia lanjut. Mereka seringkali menjadi bahan pembicaraan di lingkungan sosial, baik dengan nada bercanda maupun serius. Sebutan “lapuk” sendiri mengandung konotasi usia yang tidak muda lagi, seolah menyiratkan bahwa masa ideal untuk menikah telah lewat.
Namun, di balik sebutan itu, banyak kisah dan alasan yang menyertainya. Ada yang memilih untuk tetap melajang karena belum menemukan pasangan yang tepat. Ada pula yang terlalu sibuk mengejar karier, mengurus keluarga, atau memiliki prinsip hidup tertentu yang membuat mereka menunda atau bahkan menolak pernikahan.
Masyarakat kadang memandang pejaka senja dengan kacamata yang sempit, seolah-olah hidup mereka kurang lengkap tanpa pasangan. Padahal, kebahagiaan dan makna hidup tidak selalu diukur dari status pernikahan. Banyak pejaka senja yang hidup mandiri, produktif, bahkan menjadi sosok yang sangat peduli dan menginspirasi di lingkungan sekitar.
Pejaka senja sering kali menjadi simbol dari pilihan hidup yang jarang dipahami sepenuhnya oleh masyarakat. Dalam budaya yang menjunjung tinggi pernikahan sebagai bagian dari kewajaran hidup, mereka yang tidak menikah dianggap menyimpang dari “jalan normal”. Padahal, kehidupan tidak selalu mengikuti satu pola yang seragam.
Sebagian pejaka senja menjalani hidup dengan tenang, menikmati kebebasan tanpa harus terikat dengan tanggung jawab rumah tangga. Mereka punya waktu lebih untuk merenung, berkarya, mengejar passion, atau memperdalam spiritualitas. Sementara yang lain, mungkin menyimpan kerinduan yang dalam akan cinta dan pendamping hidup, namun memilih menerima takdir dengan hati yang lapang.
Tidak sedikit juga dari mereka yang dianggap “bermasalah” hanya karena memilih untuk hidup sendiri. Ada anggapan bahwa pria yang tidak menikah hingga usia tua pasti memiliki kekurangan, entah dalam hal ekonomi, kepribadian, atau bahkan orientasi. Stereotip ini kerap melukai, padahal kenyataannya jauh lebih kompleks.
Pejaka senja bukanlah manusia yang gagal, mereka hanyalah manusia yang memilih jalannya sendiri, kadang karena keadaan, kadang karena kesadaran. Dalam dunia yang terus berubah, sudah seharusnya kita belajar untuk memahami, bukan menghakimi.
Di balik wajah-wajah para pejaka senja, tersimpan kisah yang tak terucap. Ada yang pernah mencintai, tapi dikhianati. Ada yang setia menunggu seseorang yang tak pernah kembali. Ada pula yang sejak awal memang tak pernah menemukan kenyamanan dalam konsep pernikahan. Mereka bukan tidak mampu, bukan tidak mau, tetapi memilih untuk tidak terjebak dalam kewajiban sosial yang tidak sesuai dengan isi hati.
Pejaka senja hidup di antara bisik-bisik tetangga, pandangan kasihan, dan pertanyaan yang terus-menerus muncul di setiap acara keluarga: “Kapan nikah?” Padahal, mereka sudah lama berdamai dengan sunyi, menjadikannya teman yang setia. Kesendirian bukan lagi beban, melainkan ruang refleksi dan pembentukan jati diri.
Di sudut-sudut kota, mereka menjalani hari dengan rutinitas yang teratur. Berangkat kerja, pulang ke rumah, menyeduh kopi, membaca buku, atau duduk termenung di teras memandang bulan. Hidup mungkin tampak sepi, tapi tidak selalu hampa. Ada kedalaman dalam diam, ada kebijaksanaan dalam kesendirian.
Sebagian menjadi paman idaman, yang selalu siap membantu keponakan, menjadi sahabat curhat, atau menjadi donatur tak dikenal di balik berbagai kegiatan sosial. Mereka hadir sebagai sosok yang tidak selalu terlihat, tapi keberadaannya seringkali sangat berarti.
Pejaka senja bukan sekedar status, tapi sebuah perjalanan hidup yang tak semua orang kuat menapakinya. Di dalam diri mereka, tersimpan pelajaran tentang kesabaran, penerimaan, dan keberanian untuk menjalani hidup sesuai suara hati, bukan tuntutan dunia.
Namun, pertanyaan yang sering muncul dan tak jarang menyimpan nada sinis adalah, apakah status sebagai pejaka senja itu murni karena pilihan, atau justru karena ketidakmampuan mencari pasangan?
Jawabannya tidak tunggal. Bagi sebagian pria, melajang hingga usia senja adalah hasil dari perenungan panjang. Mereka sadar betul bahwa pernikahan bukan sekedar mengikuti arus, tetapi keputusan besar yang mengikat hidup dan batin. Mereka memilih untuk tidak menikah bukan karena tidak bisa, melainkan karena tidak ingin terjebak dalam hubungan yang salah atau hanya demi memenuhi ekspektasi sosial.
Namun, bagi yang lain, status tersebut adalah akibat dari berbagai keterbatasan, rasa rendah diri, ekonomi yang tak stabil, trauma masa lalu, atau minimnya lingkungan sosial yang mendukung. Ada yang terlalu lama menunda hingga waktu berjalan terlalu cepat. Ada juga yang merasa tak cukup menarik, tak cukup percaya diri, atau bahkan merasa tak pantas dicintai. Di balik keheningan mereka, tersimpan kerinduan yang tak diucapkan, bukan karena tidak ingin, tapi karena tak tahu harus mulai dari mana.
Dan tak sedikit pula yang pernah mencoba, bahkan berkali-kali, namun gagal dalam hubungan. Setiap patah hati menyisakan bekas yang tak kasat mata. Dari kegagalan demi kegagalan, perlahan muncul perasaan lelah. Maka mereka memilih diam, mundur, dan menenangkan diri di dalam kesendirian yang lambat laun berubah menjadi gaya hidup.
Pejaka senja, pada akhirnya, bukan satu tipe manusia. Mereka adalah mozaik dari berbagai kisah, ada yang memilih, ada yang terpaksa memilih, dan ada pula yang dipilihkan oleh nasib. Apa pun sebabnya, tak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Mereka tetap manusia seutuhnya, dengan harapan, luka, cinta, dan keberanian yang tak kalah besar dari mereka yang memilih menikah.
Dan dalam kelanjutan hidupnya, pejaka senja belajar membangun benteng dalam batinnya, bukan untuk menolak cinta, tetapi untuk melindungi dirinya dari luka yang terlalu sering diabaikan orang lain. Mereka telah terbiasa menghadapi pertanyaan-pertanyaan tajam yang terasa seperti sindiran, walau disampaikan dengan senyuman: “Masih sendiri, ya?”, “Nggak pengin nikah?”, atau yang paling menusuk, “Jangan sampai keburu tua, lho.”
Padahal tak banyak yang tahu, bahwa dalam diamnya, mereka kerap berdoa juga. Mungkin bukan lagi tentang jodoh seperti dulu, melainkan tentang ketenangan hati. Doa-doa mereka bukan tentang pencarian, tetapi tentang penerimaan. Dan di antara malam-malam sunyi, mereka bukan tidak pernah merasa sepi. Tapi mereka belajar untuk tidak memusuhi sepi itu. Mereka merangkulnya seperti sahabat lama yang tahu segalanya.
Masyarakat pun perlahan perlu belajar, bahwa tidak semua orang harus mengikuti narasi hidup yang sama. Pernikahan bukan tolok ukur kematangan, dan kesendirian bukan tanda kegagalan. Pejaka senja bisa saja menyimpan hikmah yang dalam, buah dari waktu-waktu panjang dalam perenungan. Mereka yang hidup sendiri bukan berarti hidupnya kosong. Kadang justru dari kesendirian itu, tumbuh kasih yang lebih luas: pada sesama, pada keluarga, bahkan pada dunia yang tidak selalu ramah pada mereka.
Dan siapa tahu, di masa yang kita anggap “senja”, hidup mereka justru menemukan fajar baru, bukan dalam bentuk pasangan hidup, tapi dalam bentuk pemahaman diri yang utuh. Karena sejatinya yang paling sulit dalam hidup bukanlah mencari orang lain untuk menemani kita, melainkan berdamai dengan diri sendiri agar tak merasa kesepian, bahkan saat sendirian.
Salam bahagia,
Setyatuhu Paramarta
SobatPena#2 BIN808
Tertarik menulis dan ingin karyamu dimuat juga?
Yuk bergabung dengan komunitas penulis kami!
🌐 Sobat Pena BIN808
📱 Facebook: BIN808
🐦 X (Twitter): @BIN808_com
📸 Instagram: @BIN808_com
🧵 Threads: @BIN808_com

