Tangerang, – BIN808.COM || Kasus dugaan kekerasan fisik dan perundungan yang diduga dilakukan oleh oknum pemilik yayasan berinisial S di lingkungan SMK Teknologi Indonesia, Kota Tangerang, kini memasuki babak serius setelah pihak keluarga korban memilih menempuh jalur pengaduan resmi ke Dinas Pendidikan Provinsi Banten. Kasus ini terjadi pada Jumat, 3 Oktober 2025, dan hingga kini masih menyisakan tekanan psikologis bagi siswa berinisial M, korban utama dalam insiden tersebut.
Dugaan Pukulan dan Tamparan: Aksi Spontan atau Kekerasan yang Dilarang Undang-Undang?
Berdasarkan keterangan siswa dan guru, insiden bermula ketika M datang ke sekolah untuk melakukan absensi PKL. Namun S diduga salah menafsirkan kehadiran para siswa PKL sebagai aksi membolos, hingga kemudian melakukan tindakan fisik berupa:
- Memukul menggunakan sandal,
- Menampar wajah korban sebanyak dua kali,
- dan menampar seorang siswa lain.
Aksi tersebut memicu reaksi siswa sebelum akhirnya dilerai oleh guru.
Tindakan tersebut secara hukum dapat masuk kategori kekerasan terhadap anak, sebagaimana diatur dalam:
Landasan Hukum
UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 76C:
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.
Pasal 80 UU Perlindungan Anak:
Tindakan kekerasan terhadap anak dapat dipidana 3 tahun 6 bulan, dan apabila menimbulkan luka berat, ancaman dapat meningkat hingga 5 tahun.
Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan & Penanggulangan Perundungan:
Menegaskan bahwa sekolah wajib menjamin lingkungan aman, bebas kekerasan fisik, psikis, dan verbal.
Dengan demikian, dugaan “spontanitas emosi” tidak menghapus unsur perbuatan yang diatur jelas sebagai tindakan terlarang.
Upaya Damai Tak Menghapus Dugaan Pelanggaran
Usai kejadian, orang tua M sempat berencana membuat laporan ke Polres Metro Tangerang Kota. Namun laporan urung dilakukan setelah adanya permintaan agar kasus diselesaikan secara kekeluargaan.
Dalam pertemuan yang difasilitasi guru, S menyampaikan permohonan maaf dan menyebut bahwa tindakan itu terjadi karena “emosi sesaat”.
Meski orang tua M memaafkan, ia menegaskan bahwa maaf tidak otomatis menghilangkan dampak trauma, dan tidak membatalkan potensi dugaan tindak pidana apabila kekerasan fisik terhadap anak terbukti.
Dugaan Intimidasi Berulang: Sindiran, Tekanan Mental, hingga Pernyataan “Didukung Polisi”
Satu bulan berlalu, M kembali melapor bahwa S kembali melakukan tindakan yang dianggap intimidatif, antara lain:
- Melontarkan sindiran bernada merendahkan,
- Mengatakan bahwa dirinya “didukung polisi”,
- Membahas ulang peristiwa kekerasan di depan siswa lain,
- Menyampaikan larangan agar siswa tidak melapor kepada orang tua bila ada masalah.
Tindakan tersebut secara hukum dapat masuk dalam kategori:
- Kekerasan psikis terhadap anak (Pasal 76C & 80 UU Perlindungan Anak)
- Perundungan verbal (Permendikbud 82/2015)
- Penyalahgunaan kewenangan oleh pengelola pendidikan (UU Sistem Pendidikan Nasional).
Pernyataan “didukung polisi” dapat dikategorikan sebagai bentuk intimidasi psikologis, yang menimbulkan rasa takut pada siswa dan menghambat proses belajar.
Dugaan Diskriminasi Administratif: Kartu Ulangan Ditahan
Pada masa ujian, kartu ulangan M ditahan pihak sekolah meski siswa lain yang belum membayar biaya ujian tidak mengalami perlakuan serupa. Jika benar terjadi, tindakan ini dapat masuk dalam:
- Diskriminasi pendidikan (Pasal 12 & 54 UU Sisdiknas)
- Pelanggaran perlindungan anak terhadap tindakan merendahkan martabat.
- M menyampaikan kepada orang tuanya bahwa ia merasa “dibicarakan guru-guru” setelah pertemuan damai, dan kini mengalami trauma untuk bersekolah.
Pengaduan Resmi ke Disdik Banten: Menunggu Sikap Tegas
Orang tua M mengajukan laporan resmi ke Bidang Pendidikan Menengah Disdik Banten, yang diterima staf karena pejabat terkait tidak berada di tempat. Orang tua M menegaskan menunggu tindakan konkret, bukan sekadar janji tindak lanjut.
Di hadapan staf Disdik, ia menyampaikan:
“Jika tidak ada tindakan dari Disdik Banten, saya akan menggunakan organisasi saya untuk melakukan aksi. Ini bukan hanya soal anak saya, tapi soal perlindungan terhadap siswa.”
Sorotan Publik: Batas Kewenangan Pemilik Yayasan & Kewajiban Negara Melindungi Siswa
Kasus ini kembali mengemuka sebagai alarm keras mengenai:
- Lemahnya mekanisme perlindungan siswa di sekolah swasta,
- Tidak jelasnya batas kewenangan pemilik yayasan,
- Potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam lingkungan pendidikan,
- Minimnya kontrol pemerintah terhadap manajemen sekolah swasta.
Dalam sistem hukum Indonesia:
- Pemilik yayasan tidak memiliki kewenangan langsung menghukum siswa, apalagi melakukan kekerasan,
- Seluruh tenaga pendidik dan pengelola sekolah wajib tunduk pada UU Perlindungan Anak,
- Disdik memiliki kewenangan penuh melakukan pemeriksaan, memberikan sanksi administratif, bahkan pencabutan izin jika lembaga pendidikan terbukti melakukan pelanggaran berat. (Red)

