Kuningan,-BIN808.COM || Penjualan buku, dan Lembar Kerja Siswa (LKS) juga marak terjadi setiap ajaran baru, bahkan setiap berganti semester. Walau dikatakan tidak wajib, namun para murid mau tidak mau harus membeli karena banyak tugas yang diberikan oleh guru lewat LKS tersebut seperti yang terjadi di SDN 5 Gunawicara Kecamatan Cilimus Kabupaten Kuningan. 03-02-2024
Lembaga pendidikan mulai dari tingkat SD,SMP dan SMA Negeri penerima dana bantuan oprasional (BOS) masing-masingnya mengunakan cara untuk meraup keuntungan pribadi dari penjualan buku ke peserta didiknya hingga tidak jarang mengabaikan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No 2 tahun 2008 tentang Buku, pasal (11) melarang sekolah menjadi distributor atau pengecer buku kepada peserta didik.
Dengan ada larangan yang mengatur penjualan LKS secara langsung dilingkungan sekolah, sekarang bermunculan ragam dalih yang bermacam-macam. Diantaranya untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, sebagai pendamping atau referensi pengetahuan anak didik. Hal ini terkadang menjadi pembenaran tanpa mengindahkan sebuah peraturan yang sudah jelas melarangnya.
Uniknya lagi, untuk menyiasati hal tersebut, semua pembelian Buku paket LKS diduga dikoordinir Guru kepada siswa di masing-masing Kelas, agar membeli sendiri ke toko.
Sebagaimana yang terjadi pada sekolah SDN di wilayah Cilimus Kabupaten Kuningan pihak sekolah (guru) mengarahkan siswa-siswi peserta didik untuk membeli buku LKS di toko yang dimaksud.
Meski Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah melarang pihak sekolah mewajibkan ataupun menjual buku tertentu untuk dimiliki oleh siswa
Temuan Tim Investigasi saat beberapa orang tua murid diklarifikasi “anak saya 2 orang semuanya masih dalam usia belajar di sekolah negeri dan saya harus mengeluarkan biaya untuk beli buku demi kelangsungan belajar anak kami, harga buku LKS perpaket untuk kelas 1 sampai Kelas 3 senilai Rp. 70.000 dan kelas 4 sampai kelas 6 senilai Rp. 80.000 Sedangkan anak saya yang ada di sekolah ini 2 orang, jadi saya harus mengeluarkan senilai Rp. 150.000 belum oprasional ongkos ojeg sedangkan penghasilan kami hanya buruh harian lepas yang penghasilan tidak tetap, sedangkan untuk makan saja kami sudah susah. Sedangkan ada tugas dari guru yang harus dikerjakan menggunakan LKS. ungkapnya
Kami sebagai orang tua murid hanya tahu anak saya disuruh beli buku LKS oleh pihak sekolah (guru) di toko yang menyediakan LKS tersebut. Seharusnya sekolah Negri sudah tidak ada buku LKS yang beli. Bukannya sekolah itu gratis Janji bapak presiden Jokowi mengatakan bahwa sekolah negeri gratis tapi faktanya masih ada biaya beli buku dan biaya lainnya,” ungkapnya dengan nada kesal.
Dan ada seorang ibu rumah tangga mengungkapkan dengan suami yang bekerja sebagai pegawai rendahan dirasa cukup memberatkan. Apalagi, pihak sekolah mengarahkan para wali murid untuk membeli buku-buku tersebut ke salah satu toko yang berada di kecamatan Cilimus.
“Secara pribadi saya keberatan dengan membeli LKS, kan katanya sekolah sekarang sudah gratis. Walaupun tidak membeli dari pihak sekolah, tapi kami diarahkan membeli dari toko tersebut. Jadi intinya sama saja, tetap harus mengeluarkan uang juga,” keluhnya.
Dadang Darmadi. S. Pd. I Kepala Sekolah SDN 5 Gunawicara mengatakan Buku LKS itu untuk membantu siswa dalam pendidikan. LKS itu untuk dikerjakan di rumah nanti akan dinilai oleh guru. saya mengetahui LKS itu memang sudah harusnya tidak ada di sekolah saya. kami pihak sekolah hanya sebatas mereferensikan kepada para murid untuk membeli LKS di salah satu toko tersebut. LKS itu diperlukan oleh pihak sekolah untuk menjadi pendukung untuk kemajuan siswa. pihak sekolah itu mereferensikan kepada siswa untuk menambah pengetahuan mereka menggunakan buku LKS tersebut. Ungkapnya
Menyoal adanya praktik jual beli LKS. Larangan tersebut diatur tegas di pasal 181a Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, yang menyatakan pendidik dan tenaga kependidikan, baik perorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, Lks, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, seragam sekolah, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan.
Tenaga pendidik yang menjual buku LKS di sekolah kepada siswa itu jelas pungli dan dapat dijerat pada Aturan hukum pungutan liar atau pungli masuk ke pasal 368 KUHP terhadap kegiatan yang menguntungkan diri sendiri lewat kekerasan.
Dalam pasal ini dijelaskan kalau kegiatan mengancam untuk mendapatkan sesuatu dapat dikenakan pidana penjara selama 9 tahun.
Menurut OMBUSMAN Beberapa pungutan dilakukan sejak tahap pendaftaran masuk sekolah, kegiatan belajar mengajar hingga lulus sekolah. Pungutan yang sering dilakukan saat pendaftaran sekolah seperti uang pendaftaran, uang bangku sekolah, uang baju sekolah, uang daftar ulang dan uang bangunan. Sementara pungutan yang sering dilakukan saat kegiatan belajar mengajar di sekolah adalah uang SPP/uang komite, uang les, uang buku ajar, uang LKS, uang ekstrakurikuler, uang OSIS, uang study tour, uang perpustakaan, uang pramuka, uang PMI, uang kalender, dana kelas, uang koperasi dan uang denda tidak mengerjakan PR. Pada tahap jelang lulus sekolah, terdapat berbagai pungutan seperti uang UNAS, uang try out, uang bimbingan belajar, uang perpisahan, uang foto, uang membeli kenang-kenangan, dan uang wisuda.
Selain sumbangan dan bantuan pendidikan, pungutan di sekolah yang tidak memiliki dasar hukum akan dipantau oleh Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli). Satgas Saber Pungli dibentuk pada 20 Oktober 2016 ketika Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.
Hukuman pidana bagi pelaku pungli bisa dijerat dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12 E dengan ancaman hukuman penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun. Pelaku pungli juga bisa dijerat dengan Pasal 368 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal sembilan bulan. Pelaku pungli berstatus PNS dengan dijerat dengan Pasal 423 KUHP dengan ancaman maksimal enam tahun penjara.
Sedangkan hukuman administratif bagi pelaku pelanggaran maladministrasi termasuk bagi pelaku pungli bisa dikenakan Pasal 54 hingga Pasal 58 dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
(Red/tim)
Sekarang dari persoalan di atas muncul beberapa pertanyaan, apakah hari ini orang yang mendidik anak kita sudah terdidik dengan baik? Apakah yang membimbing anak kita sudah mendapatkan bimbingan yang baik? Dan apakah memberi tahu anak kita mana yang baik dan tidak baik sudah tahu yang baik itu seperti apa? Karena logika sederhananya “bagaimana kita mau memberi kalau kita tidak memiliki?”
Dengan kualitas pendidik seperti itu, kita akan bertanya lagi: seperti apa kualitas anak didik mereka kelak? Sikap ini menunjukkan kegagalan mereka sebagai pendidik. Tak ada keteladanan yang mereka berikan.