
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 1)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 2)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 3)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 4)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 5)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 6)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 7)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 8)
SobatPena – BIN808.COM || Apabila kita melihat tayangan di televisi maupun di media sosial lainnya cerita tentang seseorang yang mengalami mati suri, pasti berbeda-beda. Bahkan ada seorang yang mengalami mati suri menceritakan pengalamannya saat mati suri secara detail dan terperinci, mengalir seperti narasi sebuah film. Ada dialog antara dirinya dan malaikat, juga ada objek-objek yang disaksikannya, sama persis yang diceritakan oleh guru-guru agama.
Menurut penulis mati suri sama seperti mimpi. Saat bermimpi kita tidak bisa menceritakan secara detail atau terperinci kejadian yang kita alami. Hanya poin-poin tertentu saja yang bisa kita jelaskan. Mengapa? Karena di “alam sana” pikiran tidak bekerja secara optimal, jadi tidak bisa mengingat dengan sempurna. Justru gambaran-gambaran yang di saksikan di sana tercipta oleh pikiran-pikiran selama hidup.
Oleh karena itu, pengalaman mati suri seringkali sangat dipengaruhi oleh keyakinan, ingatan, dan harapan pribadi seseorang semasa hidupnya. Pikiran bawah sadar berperan besar dalam membentuk “realitas” yang dialami di alam tersebut. Misalnya, seseorang yang percaya pada kehidupan setelah mati mungkin akan melihat cahaya terang, sosok-sosok spiritual, atau tempat yang damai. Sebaliknya, mereka yang menyimpan rasa takut atau trauma mungkin akan mengalami gambaran yang suram atau membingungkan.
Hal ini menunjukkan bahwa “alam sana” bukanlah tempat objektif yang sama bagi setiap orang, melainkan lebih menyerupai cermin dari kondisi batin masing-masing. Itulah mengapa pengalaman mati suri sulit dijelaskan secara ilmiah maupun disepakati secara universal. Kesadarannya berada di antara dunia fisik dan non-fisik, namun tetap terikat oleh struktur dan isi pikiran yang dibentuk selama hidup.
Nah, di sinilah peran guru agama yang berspiritual, yang tidak hanya sekedar cuap-cuap bercerita tentang dongeng-dongeng hari kiamat, siksa kubur, surga dan neraka, yang sebenarnya mereka sendiri belum mengalami, hanya mengartikan berdasarkan tulisan di kitab. Dan jangan sampai apa yang dijelaskannya mempengaruhi cara berpikir dan mempengaruhi jiwa seseorang saat mengalami kematian yang sebenarnya. Karena ini perlu sekali ditekankan pada pengalaman batin, bukan hasil dari mengartikan ayat-ayat kitab suci yang dibaca.
Seorang guru agama seharusnya tidak hanya menjadi penyampai dogma, tetapi juga pembimbing batin yang memahami bahwa setiap jiwa memiliki perjalanan unik dalam memahami Tuhan, kehidupan, dan kematian. Pengalaman batin tidak bisa digantikan oleh hafalan ayat atau kisah-kisah simbolik yang dimaknai secara kaku.
Jika seorang guru hanya menekankan sisi hukuman, ancaman, dan gambaran-gambaran mengerikan tanpa ruang refleksi batiniah, maka ajaran yang disampaikan bisa menanamkan ketakutan yang tidak sehat. Padahal, kematian bukan akhir, melainkan transisi kesadaran. Dan dalam momen transisi itu, kondisi batin seseorang, rasa damai, penyesalan, ketulusan, dan pemahaman spiritualnya akan jauh lebih menentukan daripada sekedar informasi yang didengar semasa hidup.
Guru agama yang bijak akan mengajak umat untuk menyelami makna, bukan hanya kata. Ia tidak akan memaksa seseorang untuk percaya pada gambaran tertentu, melainkan membimbing mereka untuk bertanya, merenung, dan menemukan cahaya yang sejati dalam hati masing-masing. Karena sejatinya, pengetahuan tentang akhirat bukanlah untuk menakut-nakuti, tapi untuk membangkitkan kesadaran akan hidup yang lebih dalam, jujur, dan bermakna.
Sebenarnya mimpi di saat kita tidur itu juga bagian dari “mati suri” yang bisa mewakili gambaran cara berpikir kita terhadap hidup ini. Proses penyaksian mati suri dan mimpi hampir sama, menyaksikan sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Bahkan tak terbersit di benak siapa pun.
Mimpi dan mati suri, keduanya membuka celah tipis antara dunia fisik dan dunia ruhani, dan dalam celah itulah terkadang pencerahan terjadi. Keduanya bukan sekedar fenomena pasif, melainkan pengalaman batin yang bisa menggugah kesadaran terdalam manusia.
Mimpi, dalam tradisi sufi, adalah ruang di mana jiwa menerima pelajaran langsung dari alam malakut (alam ruh). Dalam mimpi, simbol-simbol muncul bukan tanpa makna, melainkan sebagai bahasa Tuhan yang halus, hanya bisa dimengerti oleh hati yang bersih dan pikiran yang hening. Nabi Yusuf dikenal sebagai penakwil mimpi, bukan karena sekedar tahu arti simbol, tapi karena jiwanya mampu menangkap pesan Tuhan yang tersembunyi dalam bayangan malam.
Mati suri, sementara itu, adalah pengalaman luar biasa ketika seseorang berada di ambang batas antara hidup dan mati. Banyak yang pernah mengalaminya kembali dengan pandangan hidup yang berubah total, lebih damai, penuh kasih, dan mengerti bahwa dunia ini hanyalah persinggahan. Dalam keadaan mati suri, jiwa seolah keluar dari tubuh dan menyaksikan hidup dari kejauhan. Pengalaman itu seringkali membuat seseorang “bangkit kembali”, tapi bukan hanya secara fisik, melainkan secara spiritual.
Baik mimpi maupun mati suri sama-sama mengajarkan bahwa hidup bukan hanya tentang yang tampak. Ia mengingatkan kita bahwa ada alam lain yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih hakiki. Pencerahan terjadi ketika kita menyadari bahwa hidup ini bukan hanya soal rutinitas, melainkan perjalanan kembali kepada asal, kepada Tuhan.
Saat kita bermimpi, kesadaran kita berpindah dari dunia nyata ke alam bawah sadar, sebuah ruang yang tak terikat oleh logika harian, waktu, atau batasan fisik. Dalam kondisi ini, jiwa seakan lepas dari tubuh, menjelajah simbol-simbol, emosi, dan bayangan yang tersembunyi di balik pikiran sadar. Itulah sebabnya banyak tradisi spiritual memandang tidur, khususnya saat bermimpi, sebagai jembatan antara dunia fana dan alam ruhani.
Mimpi bukan hanya bunga tidur, ia adalah cermin dari jiwa. Kadang mimpi datang membawa pesan tersembunyi, teguran halus, atau bahkan petunjuk jalan hidup. Maka tak heran, jika mimpi dianggap semacam “mati kecil”, karena dalam sekejap, kita meninggalkan dunia ini, meski hanya untuk kembali dengan kesadaran yang sama, namun mungkin dengan pemahaman yang berbeda.
Dalam pendekatan spiritual, tidur dan mimpi sering dipandang sebagai momen ketika jiwa manusia keluar dari jasadnya dan berjalan di alam lain, alam yang tak kasat mata, tapi menyimpan hikmah dan pesan Ilahi. Sebagian ajaran mengatakan, saat jiwa sedang “berkelana” dalam tidur, ia bisa bertemu dengan jiwa-jiwa lain, melihat kejadian masa depan, atau menerima bisikan dari alam gaib.
Al-Qur’an sendiri menyebut tidur sebagai bentuk “wafat sementara”. Dalam Surah Az-Zumar ayat 42, dikatakan:
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.”
Ayat ini menegaskan bahwa tidur adalah proses jiwa lepas dari tubuh, seperti halnya kematian, hanya saja jiwa akan dikembalikan jika belum saatnya mati.
Maka tak heran, para pencari Tuhan dari berbagai tradisi menjadikan mimpi sebagai bagian dari jalan spiritual, sarana untuk mengenali diri, membersihkan batin, dan memahami isyarat dari Yang Maha Mengetahui. Bagi jiwa yang peka dan bersih, mimpi bisa menjadi wahyu kecil, cahaya dalam gelapnya kebingungan dunia.
Di awal telah dijelaskan bahwa alam akhirat adalah alam kekosongan tanpa batas. Tidak ada objek apapun saat berada di sana kecuali hanya cahaya yang terang benderang. Nah, kitalah yang akan membentuk objek apapun di tempat itu, dengan kekuatan pikiran dan getaran batin kita sendiri.
Di alam akhirat, tidak ada batas ruang dan waktu seperti di dunia. Segala sesuatu muncul dan terbentuk dari niat dan kesadaran terdalam. Bila hati dipenuhi cinta dan kedamaian, maka alam di sekitar akan memancarkan keindahan dan ketenangan. Namun bila jiwa membawa beban, ketakutan, atau kemarahan, maka bayangan-bayangan itulah yang akan menjelma di sekelilingnya.
Di sana tidak ada tempat untuk berpura-pura. Segala yang tersembunyi akan nampak terang seperti cahaya itu sendiri. Setiap makhluk akan bertemu dengan dirinya yang paling jujur. Maka, apa yang kita ciptakan di alam akhirat adalah cerminan dari siapa kita sebenarnya.
Dalam konsep filosofis, gagasan bahwa alam akhirat adalah kekosongan bercahaya yang membentuk objek berdasarkan kesadaran individu mengarah pada pemahaman eksistensial dan idealistik tentang realitas.
Cahaya terang dalam konteks ini bisa ditafsirkan sebagai kesadaran murni atau noesis, dan kekosongan sebagai ruang potensial eksistensial yang menanti untuk diisi oleh makna. Setiap bentuk, objek, atau peristiwa yang muncul adalah manifestasi dari intensionalitas pikiran. Ke mana kesadaran diarahkan, di situlah realitas muncul.
Dengan kata lain, di alam akhirat, realitas adalah proyeksi batiniah, bentuk tertinggi dari self-construction eksistensial. Ini membebaskan, tetapi juga menantang, karena setiap individu menjadi pencipta dari ruang makna yang akan ia huni selamanya.
Dalam filsafat Timur, khususnya Buddhisme dan Vedanta, gagasan tentang alam akhirat sebagai ruang kesadaran murni yang membentuk realitas sangat selaras dan bahkan telah menjadi inti ajaran mereka selama ribuan tahun.
Dalam Buddhisme Mahayana, terutama ajaran tentang Sunyata (kesunyataan atau kekosongan), realitas sejati tidak memiliki keberadaan tetap dan esensial. Semua fenomena hanyalah hasil dari sebab-akibat dan persepsi. Dalam keadaan batin yang terbebas dari keterikatan duniawi, seseorang dapat mengalami nirvana, yang tidak memiliki bentuk namun penuh kedamaian.
Ketika dikatakan bahwa di alam akhirat tidak ada objek apa pun kecuali cahaya terang, ini bisa dimaknai sebagai kesadaran murni yang telah terlepas dari ilusi dualitas. Jika “kitalah yang membentuk objek,” maka dalam istilah Buddhis, kita membentuk samsara atau nirvana sesuai dengan kualitas batin kita, bukan dari realitas objektif, melainkan dari refleksi batin yang jernih atau keruh.
Dalam Advaita Vedanta, dunia material dianggap sebagai Maya, ilusi yang menyembunyikan realitas sejati, yaitu Brahman, kesadaran absolut tanpa atribut. Saat seseorang meninggalkan dunia fisik, jika kesadarannya telah tercerahkan, ia kembali menyatu dengan Brahman, masuk ke dalam keadaan moksha (pembebasan total).
Dalam pandangan ini, cahaya terang benderang di alam akhirat adalah simbol dari Atman (diri sejati) yang menyatu dengan Brahman. Tidak ada objek, karena tidak ada dualitas. Namun, jika seseorang belum mencapai pembebasan, maka ia akan menciptakan realitas baru berdasarkan kesan batin dan karma yang melekat, seperti mimpi yang lahir dari alam bawah sadar.
Dengan demikian, baik dalam Buddhisme maupun Vedanta, alam akhirat sebagai “ruang kosong bercahaya” yang dibentuk oleh kesadaran sangat sesuai dengan pemahaman dan penjelasan penulis bahwa realitas bukan sesuatu yang statis atau fisik, melainkan pancaran dari batin yang telah terbebas, atau justru masih terikat.
Dalam filsafat Islam, gagasan tentang alam akhirat sebagai ruang kesadaran murni yang dibentuk oleh batin manusia memiliki akar yang dalam, terutama dalam pemikiran para filsuf dan sufi besar seperti Ibn Sina (Avicenna), Al-Ghazali, dan Ibn Arabi.
Ibn Sina membagi eksistensi manusia menjadi tubuh dan jiwa (nafs), dan meyakini bahwa setelah kematian, jiwa tetap hidup tanpa tubuh. Ia memperkenalkan konsep alam mitsal (alam imajinatif), sebuah dimensi non-fisik yang bisa menampakkan bentuk-bentuk seperti mimpi, tetapi lebih nyata dan konsisten. Di alam ini, bentuk tidak tergantung pada materi, melainkan terbentuk dari kekuatan imajinasi jiwa.
Maka, dalam kerangka ini, gambaran “cahaya terang dan kekosongan” bisa merujuk pada kondisi murni dari jiwa yang tidak lagi terikat pada materi. Jiwa yang suci akan membentuk ‘surga’-nya sendiri; jiwa yang ternoda akan mewujudkan ‘neraka’-nya dari dalam dirinya sendiri. Alam akhirat bukan sekedar tempat objektif, melainkan dimensi batiniah yang termanifestasi.
Sementara Al-Ghazali, terutama dalam Ihya Ulumuddin dan Mishkat al-Anwar (Niche of Lights) yang pelajaran ini pernah penulis ikuti, berbicara tentang jiwa, maka jiwa sebagai cermin yang memantulkan cahaya Ilahi, yang cahaya Ilahi ini bisa disaksikan pada masing-masing diri. Dan jika cermin itu bersih, maka ia memantulkan kebenaran dengan jernih. Jika keruh, maka pantulannya rusak. Alam akhirat bagi Al-Ghazali bukan hanya tempat balasan, tetapi juga wahana pembuktian hakikat jiwa itu sendiri.
Cahaya dalam pandangannya adalah nur Allah (cahaya Tuhan), dan akhirat adalah saat kebenaran mutlak tersingkap tanpa tabir dunia. Maka, kitalah yang membentuk realitas kita, dengan siapa kita di dunia, demikian pula kita di akhirat.
Kemudian Ibn Arabi membawa filsafat Islam ke tingkat metafisika tinggi melalui doktrin wahdatul wujud (kesatuan wujud). Menurutnya, semua eksistensi adalah manifestasi dari satu wujud sejati Tuhan. Dunia ini adalah bayangan (tajalli) dari realitas Ilahi. Alam akhirat adalah kelanjutan dari manifestasi tersebut, tetapi dalam bentuk yang lebih halus dan murni.
Ia memperkenalkan konsep alam khayal (alam imajinasi kreatif) yang bukan fiktif, melainkan realitas antara jiwa dan materi. Di sinilah seseorang membentuk kenyataannya sendiri sesuai kualitas batin dan pengetahuan makrifatnya. Surga dan neraka, menurut Ibn Arabi, adalah pengalaman batiniah yang muncul dari hubungan individu dengan Tuhan.
Dalam filsafat Islam, alam akhirat bukan sekedar ruang fisik atau metaforis, melainkan realitas batiniah yang sangat nyata, dibentuk oleh hubungan jiwa dengan kebenaran, kesucian, dan cahaya Ilahi. Maka, cahaya terang yang tak terbatas di sana adalah manifestasi dari nur al-Haqq (cahaya kebenaran), dan kemampuan membentuk objek berasal dari kesiapan spiritual seseorang.
Dalam pandangan syariat Islam, dan dalam persepsi guru-guru agama pada umumnya, alam akhirat adalah alam pembalasan, hukuman dari perbuatan amal baik dan buruk seseorang saat hidup di dunia. Dan, Tuhan sebagai Sang Pencipta digambarkan sebagai “penyiksa” yang membalas perbuatan manusia saat hidup di dunia.
Namun, pemahaman ini tidak sepenuhnya mencerminkan keseluruhan ajaran Islam tentang akhirat. Dalam Islam, Allah memang disebut sebagai Maha Adil, yang membalas setiap amal manusia dengan balasan yang setimpal. Akan tetapi, sifat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang (Ar-Rahman dan Ar-Rahim) juga menjadi aspek yang sangat ditekankan dalam Al-Qur’an. Surga dan neraka memang digambarkan sebagai hasil dari perbuatan manusia, namun keduanya tidak semata-mata lahir dari hukum sebab-akibat, melainkan juga dari rahmat dan kebijaksanaan Allah.
Dengan demikian, alam akhirat tidak bisa dilihat hanya sebagai ruang hukuman dan balasan, tetapi sebagai kelanjutan dari proses penyempurnaan jiwa dan perjalanan menuju kedekatan dengan Sang Pencipta. Pandangan ini memberikan nuansa yang lebih dalam dan spiritual terhadap konsep akhirat dalam Islam, menjauhkan kita dari gambaran Tuhan sebagai hanya “penyiksa”, dan mengarahkan kita pada pemahaman tentang Tuhan sebagai sumber keadilan sekaligus cinta kasih.
Perjalanan mati suri yang terjadi pada diri penulis menjawab keingintahuan kita tentang rahasia alam akhirat. Bahwa kehidupan di sana tergantung pada bagaimana kita menjalani hidup di dunia ini, baik ucapan, perbuatan, dan niat tersembunyi yang selama ini mungkin luput dari penilaian manusia, akan membentuk objek yang bisa dirasakan.
Mereka yang mengalami mati suri sering menggambarkan perasaan damai yang tak terlukiskan, cahaya yang hangat, atau justru lorong kelam yang menyesakkan, dan semua itu seolah menjadi cerminan dari kualitas batin dan pilihan hidup masing-masing.
Kita sendiri lah yang menciptakan surga dan neraka di sana. Kitalah yang akan merasakan penderitaan maupun kebahagiaan hasil dari perbuatan kita saat hidup di dunia. Masing-masing kita akan menciptakan neraka dan surga yang berbeda.
Karena itulah, tanggung jawab terbesar sebenarnya bukan terletak pada penghakiman eksternal, tetapi pada bagaimana kita menjalani hidup ini dengan kesadaran penuh. Setiap pikiran yang kita pelihara, setiap tindakan yang kita lakukan, dan setiap niat yang tersembunyi di hati, semuanya seperti benih yang tumbuh dalam batin kita di alam berikutnya.
Jika selama hidup kita menanamkan kebencian, dendam, keserakahan, maka neraka tidak perlu menunggu di ujung waktu, ia sudah mulai terbentuk dalam diri kita. Sebaliknya, jika kita menanamkan kasih, keikhlasan, dan kepedulian, maka surga pun mulai menampakkan cahaya dari dalam hati kita, bahkan sebelum kematian menjemput.
Penulis kemudian menyadari bahwa mati suri bukan sekedar pengalaman antara hidup dan mati, tapi semacam cermin raksasa yang menunjukkan siapa diri kita sebenarnya, tanpa topeng, tanpa kepura-puraan. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan atau penderitaan setelah kematian bukanlah hadiah atau hukuman semata, melainkan buah dari kehidupan batin yang telah lama kita bentuk di kehidupan ini.
Dengan pemahaman itu, hidup pun menjadi lebih bermakna. Setiap detik adalah kesempatan untuk menciptakan “alam” kita sendiri. Bukan sekedar menunggu surga atau takut pada neraka, tapi menyadari bahwa semuanya berawal dan berakhir dari dalam diri.
Bersambung…
Lanjutkan membaca ke Series 1 << atau >> Series 3
Salam bahagia
Setyatuhu Paramarta
SobatPena#2 BIN808
Tertarik menulis dan ingin karyamu dimuat juga?
Yuk bergabung dengan komunitas penulis kami!
📱 Sobat Pena BIN808
