SobatPena – BIN808.COM || Fenomena mati suri mengajarkan kita untuk mengenal sejatinya diri, diri yang tak terikat oleh kepentingan dan persepsi dari pikiran siapa pun. Dalam heningnya batas antara hidup dan mati, kita disadarkan bahwa identitas sejati bukanlah apa yang kita kenakan, yang kita capai atau miliki, melainkan kesadaran murni yang hadir dalam keheningan jiwa.
Di sana, ego luluh, ambisi mereda, dan yang tersisa hanyalah kehadiran diri yang bebas, terang, dan utuh. Kita dipanggil untuk hidup dengan lebih jujur, lebih sadar, dan lebih berserah pada makna yang lebih dalam dari sekedar rutinitas duniawi.
Kita jangan mudah percaya pada apa yang dijelaskan oleh guru-guru agama yang sama sekali tidak memiliki pengalaman batiniah tentang alam akhirat, sebab kata-kata tanpa pengalaman hanya akan menjadi dogma yang kering, tak memberi cahaya pada pencarian jiwa.
Pengetahuan sejati lahir dari perjumpaan langsung, bukan sekedar hafalan kitab, tetapi dari perjalanan batin yang sunyi, penuh perenungan, luka, dan penyerahan. Mereka yang pernah bersentuhan dengan batas kehidupan, yang pernah hilang dalam gelap dan kembali membawa terang, merekalah yang bicara dengan getar kebenaran, bukan sekedar keyakinan kosong.
Maka belajarlah untuk diam, menutup Indra kehidupan, lalu menyimak suara terdalam dari diri sendiri, sebab di sanalah Tuhan berbisik, lebih lembut dari kata-kata manusia.
Di ambang antara hidup dan mati, seseorang tidak membawa gelar, tidak menggenggam harta, dan tak bisa bersembunyi di balik ayat-ayat yang dihafalnya. Di sana, yang tersisa hanyalah kesadaran murni, diri sejati yang tak lagi bisa berdusta.
Mati suri, bagi sebagian orang bukanlah akhir, melainkan gerbang sunyi yang membuka tabir hakikat kehidupan. Dari pengalaman itu, banyak yang kembali dengan mata batin yang telah dibasuh cahaya, melihat dunia bukan lagi sebagai arena pencapaian, tapi ladang pengenalan diri.
Namun ironisnya, kita terlalu sering menggantungkan iman pada suara-suara yang lantang tapi kosong. Kita mendengar ceramah demi ceramah, nasihat demi nasihat dari mereka yang bicara tentang akhirat, tapi tak pernah menembus batasnya. Mereka menyusun peta dari cerita, bukan dari perjalanan. Padahal, jiwa tak butuh peta yang rumit, ia hanya butuh petunjuk yang jujur, yang pernah menapaki jalan sunyi itu sendiri.
Di titik ini, kita belajar untuk berhenti sejenak dari kebisingan. Kita duduk dalam diam, menutup telinga dari kebohongan yang berpakaian suci, dan mulai mendengarkan suara dari dalam. Suara yang tak memaksa, tak menggurui, hanya mengajak: “Kenalilah dirimu, di situlah awal perjumpaan dengan-Ku.”
Sebab Tuhan tidak bersemayam di balik argumen atau dogma, Ia hadir dalam kesadaran yang jernih, dalam batin yang remuk namun berserah, dalam jiwa yang tak lagi mencari pengakuan dunia, hanya rindu akan Kebenaran yang sejati.
Jika kita benar-benar ingin tahu tentang alam setelah hidup, maka masuklah lebih dalam ke dalam diri sendiri. Alam itu tak jauh, ia terpantul dalam setiap keheningan yang kita abaikan, dalam setiap tarikan nafas yang lembut, dalam setiap detak jantung yang kita anggap biasa. Di sanalah rahasia besar menanti untuk dikenali, bukan lewat penjelasan orang lain, tapi lewat pengalaman yang tak bisa dilupakan.
Dalam sebuah podcast ada narasumber yang bercerita tentang pengalamannya saat mati suri. Di alam kematiannya ruhnya berjumpa dengan malaikat, lalu diperlihatkan surga dan neraka, kemudian dikembalikan lagi untuk hidup karena belum waktunya ia berada di sana.
Perlu diketahui bahwa seseorang yang mengalami mati suri bukan ruhnya yang keluar dari raga, melainkan jiwa. Ruh adalah unsur ilahiah yang ditiupkan oleh Tuhan kepada manusia, sifatnya kekal dan tidak tersentuh oleh pengalaman duniawi secara langsung. Sementara jiwa yang sering disebut sebagai nafs dalam terminologi Islam merupakan pusat kesadaran, perasaan, dan kehendak. Jiwa terlibat aktif dalam pengalaman hidup, seperti emosi, keinginan, dan kesedihan. Dalam kondisi mati suri, yang mengalami perpindahan atau “perjalanan” bukanlah ruh, melainkan jiwa yang seolah keluar dari tubuh karena keterputusan sementara antara kesadaran dan fungsi fisik.
Fenomena mati suri kerap disalahpahami sebagai kematian sungguhan. Padahal secara medis, orang yang mati suri belum mengalami kematian biologis total. Jiwa dalam hal ini bisa mengalami pengalaman luar tubuh (out-of-body experience), melihat cahaya, atau merasa berada di tempat lain, yang sering kali disalahartikan sebagai ruh meninggalkan jasad.
Membedakan antara ruh dan jiwa penting untuk memahami dimensi spiritual dan psikologis manusia secara utuh. Ruh tetap tersambung dengan sumber Ilahi dan tidak mengalami perubahan, sedangkan jiwa terus berkembang, belajar, dan bahkan bisa terluka. Karena itu, dalam pengalaman spiritual penulis dan filosofis, mati suri bukanlah perjalanan ruh, tetapi pengalaman batiniah jiwa yang mendalam.
Dan ruh ini kadang juga disalah tafsirkan oleh guru-guru agama tatkala bicara tentang alam akhirat. Seolah ruh dapat dicabut dari raga dan mendapat siksa di akhirat. Ini jelas pemahaman yang keliru. Pemahaman yang keliru ini sering kali muncul karena pencampuradukan antara konsep ruh, jiwa, dan tubuh dalam berbagai penafsiran keagamaan.
Banyak guru agama menyampaikan bahwa ruh akan dicabut dari tubuh lalu langsung menerima balasan berupa siksa atau nikmat di alam kubur. Padahal, jika merujuk pada teks-teks suci yang lebih mendalam, ruh sebagai unsur murni dari Tuhan tidak mengalami penderitaan dan siksaan. Ruh bersifat suci, tidak tercemari, dan tetap berada dalam “ketetapan Tuhan” (lihat QS. Al-Isra: 85 “Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanku…”).
Yang sebenarnya mengalami siksa atau kenikmatan di alam barzakh adalah jiwa atau kesadaran yang membawa seluruh rekaman amal perbuatan manusia selama hidup. Jiwa inilah yang “berhadapan” dengan akibat dari pilihan-pilihan moralnya. Ruh tetap terjaga, tetap dalam genggaman Ilahi, dan tidak terlibat langsung dalam siksaan atau kenikmatan sebagaimana dipahami secara harfiah.
Kesalahpahaman ini berdampak besar, karena bisa menciptakan ketakutan yang tidak sehat dan pandangan sempit terhadap kehidupan setelah mati. Dalam spiritualitas yang lebih jernih, ruh justru dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan Tuhan, sumber cahaya dan kesadaran tertinggi yang tidak bisa ternoda oleh dosa atau siksaan fisik. Maka, menempatkan ruh sebagai objek siksa jelas bertentangan dengan hakikat ruh itu sendiri.
Pemisahan antara ruh dan jiwa menjadi penting untuk dipahami. Ruh adalah elemen ilahi, energi murni dan tak tersentuh, sedangkan jiwa adalah cerminan identitas batin yang lebih dinamis dan bisa mengalami perubahan, perjalanan, bahkan penyucian. Ketika seseorang benar-benar meninggal, barulah ruh dicabut dan jiwa dibawa ke alam berikutnya, meninggalkan tubuh yang telah usang.
Namun perlu juga dipahami, ketika seseorang meninggal dunia tak ada satu pun makhluk atau malaikat yang mencabut ruh dari raga. Yang dicabut itu adalah jiwa, bagian dari diri manusia yang mengandung kesadaran, kehendak, dan pengalaman hidupnya di dunia. Ruh tetap berada dalam genggaman Allah, tidak tersentuh oleh makhluk mana pun. Jiwa itulah yang mengalami perjalanan meninggalkan jasad, melintasi alam barzakh, dan menuju takdir akhir yang telah ditentukan-Nya.
Jasad hanya tinggal wadah kosong, sementara jiwa akan mempertanggung jawabkan setiap amal, niat, dan tujuan hidupnya. Dalam tradisi spiritual, jiwa bagaikan cermin yang mencatat setiap goresan kehidupan, dan saat ajal menjemput, cermin itu diangkat untuk diperlihatkan kembali dalam cahaya kebenaran.
Dan di sini mari kita pertegaskan lagi, bahwa penjelasan tentang ruh oleh para guru-guru agama perlu direvisi agar umat yang beragama tidak salah memahami hakikat ruh sebagai entitas kehidupan yang menghidupi diri manusia.
Sebab selama ini, pemahaman ruh sering kali dibatasi pada narasi-narasi dogmatis tanpa kajian mendalam yang menyeluruh dari berbagai dimensi teologis, filosofis, dan bahkan ilmiah. Ruh bukan sekedar “sesuatu yang tiada bentuk” yang ditiupkan ke dalam jasad, melainkan inti dari kesadaran, penggerak utama kehidupan, dan penghubung antara dimensi lahir dan batin manusia. Oleh karena itu, revisi terhadap ajaran-ajaran lama bukan berarti mengingkari keimanan, melainkan justru memperkuatnya dengan cara menghadirkan pemahaman ruh yang lebih kontekstual dan relevan dengan perkembangan akal dan ilmu.
Dengan demikian, umat beragama tidak hanya mengimani ruh sebagai bagian dari rukun kepercayaan, tetapi juga memahami peran dan kedudukannya secara lebih utuh dalam dinamika kehidupan spiritual dan eksistensial. Maka tugas para guru agama adalah membuka ruang dialog dan pembaruan tafsir, bukan menutupnya dengan dogma semata.
Pengalaman mati suri yang dialami sebagian orang, adalah pengalaman batiniah yang perlu dipahami secara mendalam. Namun sayangnya, pengalaman tersebut dijelaskan hanya sebatas cerita tanpa makna. Seharusnya pengalaman mati suri mampu menggugah seseorang untuk menggali lebih dalam lagi tentang arti kehidupan dan mencari tahu kebenarannya yang hakiki.
Mati suri bisa juga menjadi jendela untuk menelaah dimensi lain dari dalam diri, yakni tentang jiwa, kinerja otak, alam bawah sadar, pikiran, ilusi dan persepsi dari luar diri. Namun, banyak yang belum paham tentang jati dirnya, sehingga mereka belum bisa terbebas dari ikatan ego yang membelenggu kesadarannya. Selain itu mereka terlalu larut dalam doktrin dan dogma yang membuat dirinya tidak berpikir jernih.
Ketika jiwa seseorang keluar dari raganya melalui beberapa pintu, dan ini belum banyak orang yang mengetahuinya. Saat seseorang mengalami mati suri atau mati yang sebenarnya, maka jiwa akan mencari jalan untuk keluar.
Jiwa tidak serta-merta lepas begitu saja. Ia bergerak perlahan, seperti uap tipis yang mencari celah antara tubuh dan dunia yang tak terlihat. Menurut beberapa kepercayaan dan pengalaman mistik penulis yang mengalami mati suri, jiwa memiliki beberapa pintu keluar dari raga, bukan hanya satu. Tujuh lubang di kepala itulah jalan keluarnya jiwa.
Setiap pintu yang dilalui jiwa akan mempengaruhi perjalanan selanjutnya. Ada jiwa yang keluar melalui mulut, ada yang keluar melalui hidung, ada juga yang keluar melalui telinga kanan atau kiri, bahkan ada yang keluar melalui mata. Jiwa bergerak dari ujung jempol kaki naik ke atas, mencari pintu untuk keluar.
Ada jiwa yang dipaksa untuk keluar, dan ada jiwa yang keluar dengan sendirinya. Jiwa yang tidak tahu jalan keluar akan dijemput oleh malaikat pencabut nyawa, kemudian dipaksa untuk keluar. Jiwa yang dipaksa keluar inilah yang kadang menimbulkan rasa sakit. Rasa sakit tersebut disebabkan karena jiwa “berpegangan” erat pada raga yang sudah tak layak dihuni. Maka malaikat Izrail pun turun, bukan dengan kelembutan, melainkan dengan ketegasan yang mengguncang seluruh tubuh, urat demi urat terputus, nyeri demi nyeri disusuri.
Saya menganalogikannya seperti ini: ketika kita menginap di sebuah hotel yang mewah atau tempat penginapan, tentu ada waktunya kapan kita masuk dan kapan kita harus pergi dari tempat penginapan. Waktu inilah usia kita. Dan ketika tiba waktunya untuk keluar dari tempat penginapan, maka suka tidak suka, mau tidak mau kita harus keluar.
Ada yang sadar kemudian keluar dengan sendirinya, dengan hati yang damai dan bahagia. Namun ada yang tidak sadar masih nyaman di tempat penginapan. Nah, orang-orang seperti ini akan mendapatkan peringatan, jika mengabaikan maka ia akan dijemput petugas keamanan, dan dipaksa untuk keluar. Maka terjadilah tarik-menarik antara ingin bertahan di tempat itu dan dipaksa keluar. Keinginan untuk bertahan inilah yang menimbulkan rasa sakit dan perih tak terhingga.
Sebab, seseorang yang akan meninggal dunia, ia harus rela melepaskan semua yang dimilikinya. Keluarganya, harta benda, jabatan, dan ini tidak mudah. Perlu proses yang panjang bagi jiwa untuk melepaskan semuanya. Jangankan meninggal dunia, kita keluar rumah saja apabila ada barang berharga yang tertinggal pasti kita akan kembali lagi untuk mengambilnya. Apalagi melepaskan semua ikatan duniawi yang telah lama bersama, tentu tidaklah mudah.
Kondisi seperti inilah yang menyebabkan jiwa timbul keraguan dan kecemasan untuk keluar dari raga. Maka saat itulah sang jiwa akan dipaksa untuk pergi, pergi meninggalkan dunia. Namanya saja meninggal dunia, maka ia harus meninggalkan dunia.
Jiwa yang dipisahkan dengan paksa dari raganya, akan menyebabkan rasa sakit dan rintihan yang tidak terdengar oleh telinga manusia, hanya dirasakan oleh alam. Sebab perpisahan antara jiwa dan raga bukan sekedar peristiwa biologis, melainkan permulaan dari perjalanan yang lebih panjang, menuju kebenaran yang selama ini tersembunyi di balik tirai dunia.
Di bagian ini saya akan menjelaskan tentang tanda-tanda kematian dan prosesi keluarnya jiwa dari tubuh. Semua orang yang meninggal dunia diberi tanda-tanda kematian. Namun tidak semua orang tahu tanda-tanda kematian ini. Dan tatkala kematian itu menjemput ia bingung akan kemana.
Tidak ada satupun manusia yang tahu kapan ia akan meninggal. Namun tanda-tanda kematian bisa diketahui. Seperti tanda-tanda akan turunnya hujan, terjadinya gempa, maka alam akan memberitahu. Nah kematian pun demikian, tanda-tanda itu ada pada diri kita. Ketika tanda-tanda itu datang maka kita perlu mempersiapkan diri dengan hati yang damai dan bahagia.
Tanda-tanda kematian datang dalam bentuk fisik yang bisa kita rasakan. Jika mengetahui tanda-tanda ini, maka saat kematian datang hati pun terasa lebih tenang, seolah dunia tak lagi begitu menggoda. Kadang, seseorang yang akan pergi justru tampak lebih damai, lebih pemaaf, dan lebih ikhlas dalam menghadapi hidup.
Alam pun turut berbicara melalui keheningan yang berbeda, melalui perasaan hampa yang tak biasa, atau melalui isyarat yang hanya dimengerti oleh jiwa yang peka. Saat tanda-tanda itu datang, bukan ketakutan yang seharusnya tumbuh, melainkan kesiapan. Kesiapan untuk kembali pulang, untuk menghadap-Nya dengan membawa bekal terbaik: amal, cinta, dan keikhlasan.
Semua orang yang akan meninggal dunia dalam keadaan apapun prosesi keluarnya jiwa melalui ujung jempol kaki naik ke atas. Lalu keluarnya jiwa dari 7 pintu yang ada di kepala. Tujuh pintu itu adalah: satu lubang mulut, dua lubang hidung, dua lubang telinga, dan dua lubang mata. Apabila jiwa tidak mengetahui pintu keluar yang sebenarnya, maka salah satu dari 7 lubang di kepala itulah ia akan keluar.
Ada jiwa yang keluar dari mulut, semua yang diucapkannya mempengaruhi perjalanan selanjutnya. Ada jiwa yang keluar melalui lubang hidung, semua yang dirasakannya, cemas, gelisah, ketakutan dan rasa sedih, akan mempengaruhi perjalanan selanjutnya. Ada pula jiwa yang keluar melalui lubang telinga kiri atau kanan, semua yang ia dengar akan mempengaruhi perjalanan selanjutnya. Dan ada pula jiwa yang keluar melalui lubang mata kiri atau kanan, semua yang dilihatnya akan mempengaruhi perjalanan selanjutnya. Dan ada satu pintu yang sebenarnya harus dilalui. Namun hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui pintu tersebut. Dari pintu itulah Tuhan memasukkan ruh, dan ruh akan keluar dari pintu yang sama.
Jangan biarkan jiwa kita keluar dari 7 pintu yang salah. Maka 7 pintu tersebut harus ditutup, agar keluarnya jiwa bersama ruh di pintu yang benar. Pertanyaannya adalah: yang keluar dari raga jiwa dulu atau ruh dulu? Tentu saja jiwa dulu yang keluar dari raga, karena jiwa menyimpan kesan dan rasa.
Rasa adalah cermin dari pengalaman hidup. Jiwa mencatat setiap getar emosi, setiap luka, setiap cinta, dan setiap ketakutan. Maka ketika tiba waktunya untuk meninggalkan raga, jiwa lebih dahulu terangkat, membawa seluruh kesan yang pernah dialami selama hidup.
Ruh, sebagai inti suci dari kehidupan yang ditiupkan oleh Tuhan, tidak membawa beban pengalaman. Ia bersih, murni, dan hanya menunggu perintah untuk kembali ke asal. Maka penting bagi jiwa untuk tidak keluar dari tujuh pintu yang salah, pintu-pintu hawa nafsu, amarah, kesombongan, iri, kebencian, syahwat, dan keputusasaan. Bila jiwa melewati pintu yang salah, maka ia tersesat sebelum ruh mengikutinya.
Menutup tujuh pintu itu bukan sekedar menahan diri, tapi menyucikan jiwa agar saat ruh menyusul, ia menemukan jiwa dalam keadaan terang dan berserah. Hanya dengan begitu, keduanya dapat kembali melalui satu pintu yang benar: pintu cahaya, pintu ketundukan total kepada Ilahi. Inilah yang disebut jiwa Mutmainnah, jiwa yang ikhlas dan steril dari ikatan duniawi.
Maka hiduplah di dunia ini sebagai “penjaga” pintu-pintu itu. Tujuh pintu yang nyata. Apabila tidak dijaga maka dampaknya dalam laku hidup. Satu per satu 7 pintu harus kita kenali secara nyata maupun batin: pintu amarah yang membakar nurani, pintu kesombongan yang menutup cahaya, pintu syahwat yang mengaburkan arah, pintu iri yang mencuri ketenangan, pintu kebencian yang menghitamkan cinta, pintu hawa nafsu yang menyesatkan langkah, dan pintu keputusasaan yang memutus harapan kepada Tuhan. Semuanya bersumber dari 7 pintu yang ada di kepala.
Setiap kali kita lengah, jiwa beringsut mendekati pintu-pintu itu, terpikat oleh bisikan dunia. Jika dibiarkan terbuka, jiwa akan terperangkap dalam labirin gelap, tersesat sebelum ruh sempat mengajaknya pulang. Sebab itu, tugas kita bukan hanya menjaga raga, tetapi menyucikan jiwa agar tetap lembut, tetap sadar, tetap merindukan cahaya asalnya.
Ruh tak bisa tersesat, sebab ruh adalah titipan Tuhan. Tapi ruh tidak akan kembali sendirian. Ia menunggu jiwa untuk bersatu. Maka jika jiwa terjerat dalam gelap, ruh hanya bisa menanti di ambang, sedih, hening, tak berdaya dalam kehendak-Nya.
Dan saat jiwa telah siap, telah bersih dari debu dunia, telah menutup tujuh pintu itu rapat-rapat, barulah ruh mengajaknya pulang. Bukan melalui pintu gelap, tapi lewat pintu yang satu dan benar, pintu cahaya, yang hanya dibuka oleh keikhlasan, penyerahan, dan cinta kepada Yang Maha Abadi.
Dengan menutup ketujuh pintu ini satu per satu, kita sedang menyiapkan jiwa untuk pulang dengan damai. Agar kelak, saat ruh datang menjemput, ia temukan jiwa dalam keadaan ringan, jernih, dan siap menembus satu pintu yang benar, pintu kembali kepada-Nya.
Umumnya manusia tidak mengetahui pintu yang benar saat kembali. Ia keluar dari pintu-pintu yang salah, sehingga yang ia temui nuansa gelap dan tersesat. Jiwa-jiwa seperti inilah yang perlu mendapatkan syafaat dari saudaranya yang masih hidup. Namun terkadang juga saudaranya yang masih hidup belum mengetahui pintu keluar yang benar, alias buta.
“Dan barang siapa di dunia ini buta, maka di akhirat nanti dia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar.”
(QS. Al-Isra: 72)
Para kyai, para ustad, para ahli kitab, dan para guru-guru agama lainnya, kadang tidak paham dengan firman Tuhan tersebut. Mereka menafsirkan firman Tuhan dengan berbagai macam persepsi. Mereka mengira hanya dengan mengerti bahasa Arab, maka ia mengerti maksud dari firman Tuhan tersebut.
Padahal firman Tuhan bukan sekedar rangkaian kata dalam bahasa Arab yang diterjemahkan secara harfiah. Ia adalah petunjuk yang hidup, yang memerlukan hati yang bersih, jiwa yang tunduk, dan akal yang jernih untuk memahaminya.
Buta yang dimaksud dalam ayat itu bukan semata-mata buta mata, tetapi buta terhadap kebenaran, buta terhadap pengenalan diri kepada Tuhan, buta terhadap cahaya petunjuk, buta karena kesombongan ilmu dan fanatisme terhadap tradisi. Seolah kemampuan dirinya dalam beragama mengalahkan kemampuan siapa pun. Terhadap orang-orang seperti ini Tuhan tidak akan menambahkan pengetahuan dan ilmu apapun, karena mereka merasa telah cukup dengan gelar yang melekat pada dirinya.
Tuhan memperingatkan bahwa siapa yang tidak mampu melihat Diri-Nya di dunia, siapa yang menutup Qolbunya dari cahaya-Nya, maka di akhirat kelak ia akan lebih buta, lebih jauh dari cahaya, dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.
Ironisnya, banyak orang yang merasa sudah melihat hanya karena mereka memiliki gelar, jabatan, atau pengaruh. Mereka mengira sudah memahami kebenaran karena menguasai tafsir, padahal hati mereka tertutup oleh ego dan kepentingan. Mereka lupa bahwa kebenaran bukan untuk dikuasai, tapi untuk diikuti dengan rendah hati.
Maka belajarlah pada guru yang benar, jangan belajar pada guru yang hanya ahli kitab. Carilah guru ahli ma’rifat yang bukan hanya bergelar ahli ma’rifat saja, tetapi benar-benar mengetahui tujuan ma’rifat.
Bersambung…
Lanjutkan membaca ke Series 2 << atau >> Series 4
Salam bahagia
Setyatuhu Paramarta
SobatPena#2 BIN808
Tertarik menulis dan ingin karyamu dimuat juga?
Yuk bergabung dengan komunitas penulis kami!
📱 Sobat Pena BIN808

