
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 1)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 2)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 3)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 4)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 5)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 6)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 7)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 8)
SobatPena – BIN808.COM || Dari Fenomena Mati Suri ini kita bisa belajar, Ilmu ma’rifat bukan sekedar teori atau hafalan istilah, melainkan pengalaman batin yang lahir dari penyucian hati, penempaan diri, dan bimbingan langsung dari guru yang telah menempuh jalan itu dengan sebenar-benarnya.
Guru ma’rifat sejati tidak sibuk memamerkan gelar atau mendebatkan dalil, melainkan membimbing murid agar mengenal siapa dirinya, siapa Tuhannya, dan bagaimana menjalani hidup dalam kesadaran akan kehadiran-Nya.
Maka berhati-hatilah dalam memilih guru. Bukan yang manis bicaranya, tetapi yang bening hatinya. Bukan yang memikat dengan keramaian pengikut, tetapi yang hening dalam ketundukan kepada Allah.
Sebab ilmu ma’rifat bukan untuk dibanggakan, tapi untuk merendahkan hati. Bukan untuk menjauh dari dunia, tetapi untuk hidup di dunia dengan cahaya Tuhan di dalam hati.
Ilmu ma’rifat tidak bisa dicapai dengan hafalan atau bacaan apapun. Ma’rifat bukan hafalan, ma’rifat bukan ucapan atau wiridan, ma’rifat juga bukan sebutan.
Ma’rifat adalah penyaksian. Ia lahir dari hati yang luluh, dari jiwa yang lebur dalam kehadiran-Nya. Bukan karena banyaknya dzikir di lidah, tapi karena hidupnya dzikir di qalbu. Bukan karena rajinnya membaca kitab, tapi karena matinya ego dan hidupnya rasa.
Ilmu ma’rifat tidak bisa dibeli dengan kepintaran, tidak bisa ditukar dengan gelar atau pangkat. Ia adalah anugerah bagi hamba yang rela melepaskan segalanya, yang ridha tak dikenal manusia asalkan dikenal oleh Tuhannya.
Ma’rifat bukan jalan ramai, ia sunyi, ia sepi,
ia jalan para pecinta sejati yang sanggup terbakar demi melihat cahaya. Dan tak semua sanggup, sebab syaratnya bukan kuat,
tapi hancur… lalu menyatu.
Ciri-ciri orang yang telah sampai pada ma’rifat bukan terlihat dari pakaiannya, bukan pula dari sorot matanya yang tampak khusyuk di depan manusia. Ia tak sibuk mengaku, bahkan sering tampak biasa seperti kita, karena yang luar telah ia lepas demi menata yang dalam.
Orang yang ma’rifat hatinya tenang, karena ia telah melihat bahwa segalanya dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Ia tidak tergesa, tidak terburu membenarkan diri, karena ia tahu kebenaran sejati bukan untuk dimiliki, tapi dihidupi. Ia tidak merasa tinggi walau mengerti, dan tidak merasa rendah walau tidak dikenal.
Lidahnya ringan memaafkan, karena ia tahu semua adalah kehendak-Nya. Matanya lembut memandang, karena tak lagi melihat dunia sebagai musuh. Langkahnya pelan namun pasti, karena ia berjalan bukan atas ambisi, tapi atas petunjuk yang sunyi.
Ia tidak mengharapkan surga karena pahala, tidak pula takut neraka karena siksa, tapi karena cinta yang mendalam, ia hanya ingin dekat dan pulang pada-Nya.
Itulah mereka, orang-orang ma’rifat. Jarang bicara tentang ma’rifat, karena mereka sedang meniti dalamnya.
Kemudian, apa korelasinya antara ma’rifat dengan perjalanan mati suri?
Ma’rifat dan mati suri punya benang merah dalam konteks pengalaman batin dan kesadaran ruhani. Keduanya berbicara tentang perjumpaan, bukan dengan dunia luar, tetapi dengan dimensi terdalam dari eksistensi manusia dan realitas Ilahi.
Mati suri adalah peristiwa ketika seseorang berada di ambang kematian, namun jiwanya mengalami “perjalanan” melihat cahaya, merasakan kedamaian, atau bahkan menyaksikan hal-hal gaib yang tak terjangkau akal biasa. Banyak yang kembali dari mati suri mengaku hatinya berubah total, seolah diberi kesempatan “melihat kebenaran”.
Ma’rifat adalah keadaan di mana seseorang menyaksikan dengan mata hati hakikat, melihat bahwa tak ada yang nyata selain Allah. Orang yang ma’rifat telah “mati sebelum mati”, sebagaimana sabda Nabi: “Mūtū qabla an tamūtū”, “Matilah sebelum kalian mati.”
Nah, korelasi antara keduanya adalah: keduanya bersifat transformasional (membawa perubahan). Setelah mati suri atau mencapai ma’rifat, seseorang biasanya tak lagi melihat dunia dengan cara yang sama. Nilai hidup berubah, ambisi dunia mengecil, dan cinta kepada Ilahi menguat.
Keduanya terjadi dengan ‘kematian ego’. Mati suri memisahkan jiwa dari jasad untuk sesaat, ma’rifat memisahkan hati dari keterikatan dunia meski raga masih hidup.
Keduanya membuka tabir realitas. Mati suri kadang memberi kilasan tentang alam barzakh atau kebenaran akhirat. Ma’rifat memberi pemahaman batin tentang bahwa segala sesuatu adalah dari dan menuju Allah.
Namun, ma’rifat lebih dalam dan konsisten. Kalau mati suri adalah kejadian luar biasa yang bisa terjadi tanpa kesengajaan. Maka makrifat adalah hasil dari perjalanan panjang, dengan suluk, mujahadah, zikir, dan bimbingan mursyid sejati.
Dan pengertiannya adalah: jika mati suri adalah tamu yang datang, ma’rifat adalah rumah yang dibangun.
Mungkin kita pernah melihat atau mendengar kotbah dari guru-guru agama di atas mimbar, bahwa saat ajal seseorang datang, ruhnya akan ditarik oleh malaikat izrail dari tubuhnya. Lalu apabila ruh orang tersebut banyak berbuat salah, maka akan menerima azab yang pedih dari Allah di akhirat.
Ruh yang jahat akan dimasukkan ke neraka dan disiksa oleh malaikat penjaga neraka. Ruh yang baik akan mendapatkan nikmat surga ditemani 72 bidadari yang cantik jelita seperti artis korea. Sementara ruh yang wanita akan masuk surga menjadi ratu buaya, eh, ratu bidadari.
Para guru agama yang mengaku ulama, membedah dalil ini, bahwa bukan 72 bidadari, ada yang bilang lebih dari 72 bidadari, ada yang bilang tidak sampai 72 bidadari. Ruh pria akan bercinta dengan bidadari-bidadari yang selalu perawan. Mereka diciptakan untuk pemuas nafsu birahi yang tertunda di dunia. Lalu air maninya menjadi kristal butiran mutiara yang berkilauan. Keringatnya menjadi harum aroma kasturi seribu bunga.
Di surga, bidadari dan ratu bidadari cantiknya tak pernah luntur, kulitnya tetap kencang, tidak menua, selalu remaja, ia tetap perawan walaupun sering bercinta. Bahkan menjadi istri seorang ustad satu pintu surga terbuka dengan ranjang emas berselimut sutra ungu.
Mari kita renungi secara mendalam bahwa kenikmatan surga, azab neraka, bahkan gambaran bidadari, bukanlah kebenaran lahiriah yang mutlak, melainkan simbol yang menuntun pada makna batin yang lebih tinggi.
Dalam kitab-kitab suci, kita membaca tentang sungai-sungai mengalir di bawah surga, permadani sutra, buah-buahan tanpa musim, dan bidadari bermata jeli. Kita juga membaca tentang api yang menyala, rantai yang membelenggu, makanan berduri, dan jeritan abadi dari para penghuni neraka. Namun, benarkah semua itu harus dipahami secara harfiah? (Harfiah berarti apa adanya, sesuai dengan kata-kata aslinya, atau tanpa makna kiasan.)
Para arif dan ulama ma’rifat menyadari bahwa apa yang tertulis dalam wahyu bukan sekedar deskripsi lahiriah. Itu adalah bahasa simbol, metafora ilahiah, yang hendak membimbing manusia dari kulit menuju inti, dari ketakutan jasad menuju kesadaran ruh.
Surga bukan sekedar tempat penuh kenikmatan, tapi adalah kondisi jiwa yang telah menyatu dalam ketenangan bersama Tuhan. Neraka bukan hanya tempat siksa, tapi juga keadaan batin yang tersiksa oleh keterpisahan dari Cahaya-Nya. Dan bidadari bukan semata sosok perempuan cantik, melainkan manifestasi keindahan ruhani yang dijanjikan bagi jiwa yang telah disucikan.
Bila kita memaknai surga hanya sebagai pesta tak berkesudahan, maka kita menyederhanakan tujuan penciptaan. Bila kita takut kepada neraka hanya karena apinya, bukan karena jauhnya dari rahmat Allah, maka kita belum mengenal cinta sejati. Bila kita mengejar bidadari namun tidak menundukkan nafsu, maka kita belum berjalan di jalan para pecinta.
Orang yang berjalan di jalan ruhani tak lagi mencari surga karena kenikmatannya. Ia mencari Tuhan, karena dari sanalah semua kenikmatan bermula. Ia tidak takut neraka karena sakitnya, tapi karena kehilangan kedekatan dengan Sang Kekasih. Baginya, bahkan jika surga itu tanpa sungai, tanpa istana, tetapi penuh dengan kehadiran-Nya, maka itulah surga yang sesungguhnya.
Maka, jangan berhenti di permukaan. Jangan jadikan simbol sebagai tujuan. Tujuan kita bukanlah kenikmatan, melainkan perjumpaan. Bukan mahkota dan singgasana, tapi wajah-Nya Yang Mulia. Yang sejati bukanlah bentuk, tapi makna. Dan makna hanya terbuka bagi hati yang bersih.
Suatu malam saya berdiskusi dengan salah satu teman yang memiliki kelebihan berdialog dengan jiwa atau arwah seseorang yang telah lama meninggal dunia. Kebetulan malam itu kami berdua kedatangan arwah atau jiwa yang misterius. Terjadilah dialog batin antara teman saya dengan jiwa tersebut. Dialog terjadi tidak dengan kata-kata melainkan melalui vibrasi.
Hasil dialog yang dilakukan dalam beberapa menit itu menjelaskan bahwa arwah tersebut semasa hidup adalah guru agama yang sering khotbah di majelis-majelis. Semasa hidup ia dikenal dan banyak pengikut. Dan ketika meninggal dunia ia sama sekali tidak bisa melihat. Pandangan matanya ditutupi kabut hitam yang sangat pekat. Arwah guru agama ini merintih perih dan sedih. Teman saya kebingungan, tidak tahu dosa apa yang ia lakukan saat hidup.
Dalam keheningan vibrasi yang semakin dalam, tersingkaplah lapisan-lapisan rasa yang sulit diungkapkan oleh kata. Jiwa sang guru agama itu tampak terombang-ambing dalam kesedihan yang tak ia mengerti. Getaran yang tersalur darinya mengandung kebingungan, penyesalan, dan sebuah pertanyaan yang terus mengendap: “Apa yang telah kulakukan hingga terang itu tertutup dariku?”
Saya mencoba meresapi gelombang itu dan mencoba mengirimkan getaran empati. Dalam hening, seakan ada bayangan samar dari masa silam yang mulai terbuka. Bukan berupa kejadian besar atau dosa terang-terangan, melainkan jejak-jejak halus. Kata-kata yang disampaikan bukan dari cinta, tetapi dari takut dan rasa kuasa. Nasihat yang dilandasi keinginan untuk dihormati, bukan untuk menyentuh hati. Ajaran yang benar, tetapi terasa hampa karena hatinya tak ikut serta. Ucapan yang penuh dengan kebohongan, mengatakan sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti.
Dan dalam vibrasi yang menggema dari alam batin, tersirat bahwa sang guru telah mengajar kebenaran, tetapi tanpa mengalami kebenaran itu dalam dirinya sendiri. Ia lebih mencintai peran sebagai guru daripada menjadi murid sejati kehidupan. Ia menuntun banyak orang menuju cahaya, tetapi jalannya sendiri dilalui dalam bayang-bayang harapan agar dikenang, dihormati, dan diagungkan.
Dalam selipan doa kami mengantarkan sang arwah ke tempat yang lebih baik. Perlahan, kesadaran ini mulai menyelinap masuk dalam arwahnya. Vibrasi kesedihan kini bercampur dengan cahaya kecil, benih keikhlasan. Dalam diam, sang guru mulai menangis, bukan karena kabut hitam itu, melainkan karena ia mulai melihat dirinya yang sejati. Itu adalah awal dari pembebasan.
Menurut pengamat penulis diantara 100% jiwa yang meninggal dunia, kemungkinan hanya 30% yang kembali dengan sempurna. Sementara yang 70% perlu mendapat bimbingan atau syafaat dari saudaranya yang masih hidup.
Jiwa seseorang yang belum steril dari ikatan duniawi, ia terombang-ambing di dunianya, dunia yang ia ciptakan sendiri. Setiap jiwa menciptakan surga dan nerakanya sendiri.
Jiwa yang terombang-ambing ini tak menyadari bahwa ia telah melewati batas kehidupan. Ia masih bergulat dengan ambisi, dendam, cinta yang belum selesai, atau penyesalan yang membekas. Waktu baginya tak lagi linier, melainkan menjadi pusaran ingatan dan emosi yang terus berulang.
Dunia yang ia ciptakan adalah cerminan dari kondisi batin terakhirnya saat ajal menjemput. Jika jiwanya dipenuhi amarah, maka ia berada dalam bayang-bayang api batinnya sendiri. Jika ia dipenuhi kasih dan penyerahan, maka hadir cahaya yang membimbingnya perlahan menuju kesadaran.
Namun, tanpa bimbingan dari doa-doa yang tulus, zikir yang ditujukan padanya, atau energi kasih dari kerabat yang masih hidup, ia bisa tersesat dalam ilusi dunianya sendiri. Sebab jiwa, sejatinya tak bisa menyelamatkan dirinya tanpa resonansi cinta dari jiwa lain.
Itulah mengapa leluhur dalam banyak tradisi mengajarkan pentingnya mendoakan yang telah tiada. Karena doa adalah jembatan cahaya, dan syafaat adalah pintu keluar dari dunia buatan itu yang membawa jiwa menuju pengenalan sejati, bahwa ia bukan lagi milik dunia, melainkan milik Yang Abadi.
Tradisi tahlilan dan yasinan yang dilakukan oleh para guru-guru merupakan doa penuntun jiwa, sebuah jalan sunyi yang mengantarkan batin kepada ketenangan dan keberkahan. Di dalam lantunan ayat-ayat suci dan kalimat-kalimat dzikir, tersimpan harapan dan cinta kasih yang tulus bagi arwah yang telah mendahului, sekaligus menjadi pengingat bagi yang masih hidup tentang fananya dunia.
Ritual ini bukan sekedar rutinitas, melainkan laku spiritual yang mengakar dalam budaya dan keyakinan, menautkan antara dunia lahir dan batin, antara yang tampak dan yang gaib. Dalam kebersamaan membaca Yasin, hati para guru dipertautkan dalam niat mulia, menyambung silaturahmi ruhani, mendoakan, dan memperteguh iman.
Di tengah kerendahan hati, para guru menempatkan diri sebagai penjaga warisan spiritual, menyiram jiwa-jiwa dengan doa, agar tetap jernih, terarah, dan mendekat pada Yang Maha Kasih.
Sebagian umat beragama Islam menganggap bahwa tradisi tahlilan dan yasinan adalah sesuatu yang tidak ada contohnya secara langsung dari Rasulullah Muhammad SAW, sehingga dianggap sebagai bentuk bid’ah, yakni penambahan dalam perkara agama yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Bagi kelompok ini, segala bentuk ibadah yang tidak memiliki landasan dalil dari Al-Qur’an dan hadits shahih harus ditinggalkan agar kemurnian ajaran Islam tetap terjaga.
Namun, di sisi lain, banyak ulama dan jamaah yang berpandangan bahwa tahlilan dan yasinan termasuk dalam kategori bid’ah hasanah, yakni bid’ah yang baik. Mereka menekankan bahwa selama kegiatan ini berisi doa-doa yang disyariatkan, seperti bacaan Al-Qur’an, dzikir, serta permohonan ampun untuk orang yang telah wafat, maka hal itu tidak menyimpang dari prinsip-prinsip Islam. Tradisi ini juga dinilai membawa manfaat sosial, seperti mempererat ukhuwah Islamiyah, menghidupkan nilai gotong royong, dan menumbuhkan rasa peduli terhadap sesama.
Perbedaan pandangan ini mencerminkan dinamika pemahaman umat Islam dalam mengamalkan ajaran agama, yang dipengaruhi oleh konteks budaya, mazhab, dan pendekatan keilmuan. Selama perbedaan ini dijalani dengan saling menghormati dan tidak saling menyalahkan, maka umat dapat tetap hidup dalam harmoni, seraya terus mencari esensi dari setiap ibadah, mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh ketulusan.
Dalam refleksi spiritual, perdebatan tentang tahlilan dan yasinan membuka jendela perenungan yang lebih dalam, apakah esensi dari ibadah terletak semata-mata pada bentuk dan tata caranya, atau justru pada niat, keikhlasan, dan makna yang menghidupkan setiap lafaz doa?
Ketika para guru dan jamaah berkumpul dalam keheningan malam, melafalkan surat Yasin, bertahlil, dan mendoakan arwah keluarga yang telah tiada, sesungguhnya mereka sedang menapaki jalan batin yang menghubungkan dunia dengan akhirat. Suara yang mereka lantunkan bukan sekedar bacaan, melainkan getar hati yang menyampaikan cinta, rindu, dan permohonan rahmat bagi jiwa-jiwa yang telah pergi.
Tradisi ini, meski tak ditemukan secara eksplisit dalam riwayat Nabi, lahir dari rasa spiritual yang mendalam, rasa kehilangan, rasa cinta kepada sesama, dan keyakinan bahwa doa memiliki daya untuk menerangi kegelapan kubur, untuk menjadi cahaya di alam barzakh. Dalam kerendahan hati, tahlilan menjadi jembatan antara manusia dan Tuhannya, antara dunia yang fana dan kehidupan abadi.
Bagi jiwa yang peka, perbedaan pandangan bukanlah alasan untuk saling menjatuhkan, melainkan undangan untuk merenung, sudahkah setiap ibadah kita benar-benar membangkitkan kesadaran akan kehadiran Ilahi? Sudahkah setiap bacaan kita membawa kita lebih dekat kepada sikap tawadhu, syukur, dan kasih sayang terhadap sesama?
Karena pada akhirnya, Allah menilai isi hati. Dan dalam hati yang tulus berdoa, dalam lisan yang lembut menyebut asma-Nya, tersimpan kedekatan yang tidak bisa diukur oleh perdebatan, melainkan oleh cahaya yang tumbuh di dalam jiwa.
Satu hal lagi dalam pandangan spiritual dan pendapat penulis, jiwa orang yang telah meninggal dunia tidak cukup hanya didoakan, karena doa hanyalah cahaya yang menyertai, bukan kendaraan yang membawa. Jiwa itu perlu diantarkan, dibimbing menuju tempat yang seharusnya ia berada, yakni kembali kepada asal mula, kepada Sang Pencipta yang Maha Pengasih.
Namun, mengantar jiwa bukan perkara ringan. Ia bukan sekedar melafalkan ayat dan dzikir, melainkan suatu proses batin yang hanya dapat dilakukan oleh jiwa-jiwa yang telah menempuh perjalanan pulang. Hanya mereka yang telah merasakan kefanaan, yang telah melewati jalan-jalan sunyi pencarian, yang mampu menjadi penuntun bagi jiwa lain yang tengah mencari cahaya dalam alam antara.
Maka tahlilan bukan sekedar tradisi atau bentuk penghormatan sosial. Ia bisa menjadi upacara sakral, tempat di mana para pembaca doa menjadi penjaga gerbang batin, penunjuk arah bagi jiwa yang bingung, atau bahkan tersesat. Yang membaca pun harus suci niatnya, bersih hatinya, dan tahu jalan pulang. Sebab bagaimana mungkin seseorang menunjukkan jalan ke hadirat Tuhan jika ia sendiri belum mengenal Tuhan.
Dalam keheningan tahlil, bila hati benar-benar hadir, kadang terasa, ada yang mengalir lebih dalam dari sekedar suara. Ada getar, ada cahaya, ada lambaian dari dunia yang lebih halus, yang menunggu untuk dibebaskan, untuk disentuh, untuk diantarkan.
Dan di sinilah hakikat doa menjadi nyata, bukan sebagai ritual semata, tapi sebagai jembatan antara dua dunia. Karena setiap jiwa, entah masih hidup atau telah wafat, sesungguhnya tengah dalam perjalanan yang sama, mencari jalan kembali kepada Tuhan.
Bersambung…
Lanjutkan membaca ke Series 3 << atau >> Series 5
Salam bahagia
Setyatuhu Paramarta
SobatPena#2 BIN808
Tertarik menulis dan ingin karyamu dimuat juga?
Yuk bergabung dengan komunitas penulis kami!
📱 Sobat Pena BIN808
