
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 1)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 2)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 3)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 4)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 5)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 6)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 7)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 8)
SobatPena – BIN808.COM || Lewat fenomena mati suri ini mari kita renungi, menuntun jiwa yang telah lama tiada, tidak cukup hanya didoakan saja, perlu dituntun, diarahkan pada jalan yang benar. Ia seperti orang buta yang ingin ke suatu tempat. Apakah orang buta tahu tujuannya hanya dengan memberinya penjelasan? Tentu saja tidak. Ia perlu dibimbing, diarahkan dengan suara yang dikenalnya, dengan sentuhan yang menuntunnya melangkah satu per satu. Bila perlu diantarkan ke tempat tujuan. Dan yang mengantarkannya tentu saja yang telah mengenal jalan pulang.
Doa adalah panggilan, tetapi bimbingan adalah jalan. Tanpa ada yang menyambutnya, membimbingnya keluar dari gelap dan kabut, ia hanya akan berputar dalam lingkaran yang sama, mengira ia mendekat, padahal sesungguhnya tetap tersesat.
Menuntun jiwa bukanlah sekedar membacakan ayat dan harapan dari jauh. Menuntun jiwa adalah menyusuri lorong-lorong sunyi batinnya, menyapa luka-lukanya yang belum sembuh, menunjukkan padanya bahwa masih ada arah pulang. Seperti seorang penuntun yang menyusuri kabut malam sambil membawa lentera, begitu pula tugas kita bagi jiwa-jiwa yang terlupa, menjadi cahaya kecil di ujung gelapnya kesadaran mereka.
Karena jiwa, meskipun telah lama tiada, tetap mendengar. Dan jika ada satu suara yang dapat menembus batas kematian, itu adalah suara kasih yang tulus, yang tidak hanya mendoakan, tetapi juga hadir, menyentuh, membimbing.
Surah Al-Isra’ ayat 72:
“Dan barangsiapa di dunia ini buta (hatinya), maka di akhirat ia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”
Maka saat kematian datang, dan realitas akhirat terungkap, jiwa yang terbiasa hidup dalam kegelapan tetap dalam kebutaan. Bahkan lebih buruk: “lebih tersesat dari jalan”, karena di akhirat tidak ada lagi pilihan, tidak ada kesempatan untuk bertobat. Yang tersisa hanya kesadaran penuh, tetapi sudah terlambat.
Jiwa yang buta matanya ini bukan hanya buta dalam mengenal Tuhan. Tetapi juga jiwa yang masih ada kemelekatan terhadap dunia, hutang piutang, persoalan hidup, maka ia akan kesulitan untuk mencari jalan pulang, jiwa ini perlu dituntun. Karena selama masih ada kemelekatan, selama hatinya masih terikat oleh beban dunia, hutang yang belum terbayar, janji yang belum ditepati, luka yang belum termaafkan, ia akan seperti burung yang sayapnya diikat rantai. Ia ingin terbang, tetapi tertahan oleh sesuatu yang tak kasat mata, sesuatu yang berasal dari dunia yang telah ia tinggalkan, namun masih menggenggamnya erat.
Menuntun jiwa yang tersesat memerlukan ketulusan yang dalam. Kita bicara padanya dalam keheningan malam, kita panggil namanya dalam jernih air wudhu, kita tuntun ia dalam langkah-langkah doa, dalam amal yang diniatkan untuk membantunya. Jangan kita biarkan ia terkatung-katung di persimpangan antara dunia dan akhirat. Sebab kadang, satu jiwa yang tersesat, hanya butuh satu tangan yang mengulurkan kasih, agar ia tahu ke mana harus pulang.
Hidup di dunia adalah waktu bagi jiwa untuk belajar melihat. Melihat bukan dengan mata, tapi dengan hati yang dibasuh cahaya. Maka jangan biarkan hati buta, karena di akhirat tidak ada matahari untuk menuntun, hanya terang dari dalam jiwalah yang bisa menyinari jalan pulang.
Surah Taha: 124–126:
“Wahai Tuhanku, mengapa aku dibangkitkan dalam keadaan buta, padahal dahulu aku melihat?”
Begitu jeritnya, dalam kebingungan yang pekat. Tapi jawaban yang datang bukanlah belas kasihan.
“Karena ayat-ayat-Ku datang kepadamu, dan engkau melupakannya.”
“Maka hari ini, engkau pun dilupakan.”
Ini bukan sekedar kebutaan mata. Ini adalah kebutaan batin, simbol dari jiwa yang menolak untuk melihat cahaya kebenaran yang terus menerus mengetuk, lembut tapi tegas, sepanjang hidupnya. Ia memilih sibuk dengan dunia, hutang yang tak selesai, dendam yang tak padam, cinta yang mengikatnya pada tanah. Ia berjalan dalam terang palsu, tetapi hakikatnya menutup mata dari Nur Ilahi.
Buta di akhirat adalah wujud nyata dari jiwa yang kehilangan orientasi spiritual. Ia seperti kompas yang jarumnya berputar tanpa arah. Surga baginya adalah kisah yang terlalu asing, sedang neraka adalah bayangan yang dulu tak digubris.
Bersambung…
Lanjutkan membaca ke Series 6 << atau >> Series 8
Salam bahagia
Setyatuhu Paramarta
SobatPena#2 BIN808
Tertarik menulis dan ingin karyamu dimuat juga?
Yuk bergabung dengan komunitas penulis kami!
📱 Sobat Pena BIN808
