Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 8)

Posted by : Setyatuhu Paramarta July 9, 2025 Tags : Mati Suri , SobatPena BIN808 , Sobat Pena
This entry is part 8 of 8 in the series Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat

SobatPenaBIN808.COM || Di penghujung akhir cerita dari fenomena mati suri ini mari sejenak merenung, dalam keheningan Tuhan menyampaikan kebenaran melalui vibrasi, bukan dalam dentang lonceng, bukan dalam sorak kemenangan, melainkan dalam getaran halus yang menembus sukma, membangunkan jiwa yang tertidur dalam kebisingan dunia.

Vibrasi itu bukan suara, tapi frekuensi yang hanya dikenali oleh hati yang bersih, yang telah melepaskan ambisi dan genggaman atas nama diri. Ia menyusup seperti cahaya pagi di celah dedaunan, tak terlihat, tapi menghangatkan jiwa yang merindukan pulang.

Kebenaran itu bukan argumen, bukan pula doktrin yang ditatah di batu, melainkan kesadaran yang muncul saat kita hening, hadir, dan terbuka.

Dan saat kita benar-benar diam, di sanalah Tuhan berbicara, bukan dalam bahasa manusia, bukan bahasa Arab, India, Melayu, Jawa, Jepang, Korea, dan sebagainya,

melainkan dalam denyut yang membuat hati kita tahu. Aku Ada. Aku Selalu Ada.

Ketika seseorang mengalami mati suri atau keluarnya jiwa dari raga maka sesungguhnya mereka bukan berada di alam keTuhanan yang utuh, melainkan hanya menyentuh lapisan-lapisan awal dari dimensi metafisik yang terbuka sebagian, sebagaimana bayangan kabur yang menandai pintu gerbang antara dunia fana dan realitas gaib. Dalam kondisi itu, jiwa tidak benar-benar memasuki alam keTuhanan yang utuh, karena alam tersebut hanya dapat dijangkau oleh jiwa yang telah melewati proses penyucian sempurna dan pembebasan total dari ikatan duniawi.

Yang mereka alami hanyalah ruang antara, sering disebut barzakh atau dimensi cermin, di mana simbol, perasaan, dan pancaran kebenaran ilahiah muncul dalam bentuk-bentuk metaforis sesuai kesiapan batin masing-masing. Maka, penglihatan tentang cahaya, perjumpaan dengan sosok-sosok rohani, atau ruang penuh kedamaian itu bukanlah realitas akhir, melainkan cermin dari harapan, ketakutan, dan kondisi jiwa yang bersangkutan.

Karena itu, pengalaman mati suri bukanlah kepastian tentang akhirat, tetapi panggilan halus untuk kembali merenungi hidup, mengoreksi jalan, dan menyadari bahwa kebenaran mutlak tak akan tersingkap oleh mereka yang hanya berdiri di ambang pintu.

Demikian pula dalam hal penyaksian, mereka para penyaksi hanya berada di bayangan cermin dari cahaya yang sejati, cahaya yang telah dibiaskan oleh tabir-tabir kesadaran mereka sendiri. Apa yang tampak seolah-olah Ilahi, dalam kenyataannya masih terbungkus dalam simbol dan bentuk, belum menyentuh hakikat Nur yang murni.

Penyaksian mereka adalah tafsir dari batin yang belum seluruhnya hening, masih ada desir ego, bias pengetahuan, dan warna-warna pengalaman yang mempengaruhi. Oleh sebab itu, tidak setiap penglihatan dapat dianggap wahyu, dan tidak setiap rasa dapat disebut maqam. Sebab cahaya yang sejati tidak menampakkan diri dalam bentuk. Ia hadir sebagai ketiadaan bentuk, sebagai kehampaan yang penuh makna, sebagai keheningan yang menggema dalam jiwa yang telah luluh sepenuhnya.

Baca Juga :  Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 1)

Maka, penyaksian yang hakiki hanya terjadi ketika sang “aku” telah tiada, dan yang tersisa hanyalah “Dia.” Segala selain itu hanyalah pantulan dari yang sejati, seperti bulan yang bercahaya bukan karena dirinya, melainkan karena matahari yang tidak terlihat langsung oleh mata dunia.

Terkadang para penyaksi terkecoh oleh yang disaksinya, seolah itu sudah puncak dari segala kebenaran, padahal yang mereka lihat hanyalah singgahan, bukan tujuan. Mereka terjebak dalam keindahan cahaya, dalam rasa damai yang membius, dalam sosok-sosok agung yang menyapa, dan mengira bahwa itulah perjumpaan akhir dengan Yang Maha.

Namun, Sang Hakikat tidak dapat ditangkap oleh bentuk apa pun, bahkan oleh cahaya sekalipun, karena Dia melampaui segala manifestasi. Justru, ujian terbesar bagi para penyaksi adalah ketika mereka mampu melepaskan penyaksian itu sendiri, mampu melampaui rasa, melampaui bentuk, bahkan melampaui pengalaman spiritual itu.

Sebab setiap pengalaman yang masih menyisakan “aku melihat,” “aku merasakan,” atau “aku tahu,” berarti masih ada dualitas. Sedangkan puncak penyatuan adalah ketika tiada lagi “aku,” tiada lagi “Dia,” yang ada hanyalah Keberadaan Murni tanpa subjek dan objek yang tak bisa dikisahkan, hanya bisa dialami dalam lenyap.

Dan betapa halus tipuannya, karena semakin tinggi cahaya, semakin samar bayangannya, hingga tanpa kebeningan batin, seseorang bisa salah sangka, mengira cahaya pelita adalah matahari, mengira cermin adalah jendela, dan berhenti di taman perantara, tak pernah sampai ke istana-Nya.

Awalnya penulis tidak tahu bahwa kejadian yang dialaminya adalah fenomena mati suri. Sebab itu berlangsung tanpa hitungan detik jam, maupun waktu. Seperti ada yang menjalankan dari mulai menutup 7 pintu sampai keluar dari pintu yang satu. 

Setelah keluar dari pintu yang satu, maka tersingkaplah takbir rahasia Ilahi, walaupun masih dalam proses, dalam selapis demi selapis tabir yang pelan-pelan tersingkap, tidak sekaligus, tidak meledak, melainkan seperti fajar yang menyusup perlahan ke balik malam. Ada getar halus yang bukan berasal dari tubuh, dan ada tahu yang bukan hasil belajar.

Di sana, ruang tidak lagi berbentuk, dan waktu seperti air yang tak mengalir, diam, tetapi mengandung gerak yang tak bisa dijelaskan. Setiap lapisan yang terbuka mengandung pesan, bukan dalam bahasa manusia, tetapi dalam bahasa kejernihan, dalam simbol yang menggema langsung ke dasar sukma.

Penulis menyadari bahwa ia bukan sedang bermimpi, bukan pula berhalusinasi, karena kesadarannya lebih jernih dari biasanya, seperti bangun dari tidur panjang dunia. Yang menutup tujuh pintu itu bukan dirinya, melainkan sesuatu yang lebih tinggi, lebih berkuasa, namun tidak memaksa. Seolah jiwa digiring oleh panggilan pulang yang lembut namun tak tertolak.

Baca Juga :  Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 2)

Dan di balik pintu itu, ia tidak menemukan surga atau neraka dalam rupa-rupa gambar, tetapi ia menyentuh awal dari makna, sebuah isyarat bahwa segala yang selama ini diyakini, dibaca, dan didengar hanyalah kulit. Kini ia menginjak ambang inti, meski belum menembusnya. Ia merasa bukan sedang melihat sesuatu, tetapi sedang dilihat oleh sesuatu yang lebih luas dari langit dan lebih dalam dari samudera kesadaran.

Dan saat itu, ia sadar, mati suri bukanlah akhir, melainkan panggilan. Sebuah pengingat bahwa hidup sejati bukanlah yang dijalani dengan tubuh, tapi yang dihidupi oleh jiwa yang bersentuhan dengan Sang Sumber, walau hanya sejenak, namun cukup untuk mengubah arah selamanya.

Dan sejak saat itu, penulis tak lagi memandang kehidupan dengan cara yang sama. Segala yang sebelumnya dianggap penting, ambisi, gelar, rutinitas, bahkan ketakutan, seolah luluh oleh sesuatu yang lebih hakiki. Ia seperti baru pulang dari suatu tempat yang tak bisa dijelaskan, namun jejaknya menetap di dalam dada, tenang, hening, namun mengguncang.

Kesadarannya berubah. Ia tidak lagi tergoda untuk mencari kebenaran di luar, karena tahu bahwa yang di luar hanyalah bayang-bayang dari yang di dalam. Ia mulai memahami bahwa hidup ini bukan tentang menumpuk pengalaman, tetapi tentang menyibak hijab demi hijab yang menutupi wajah Tuhan dalam dirinya sendiri.

Dan tentang tujuh pintu yang ditutup sebelum keluar dari pintu yang satu itu, ia mulai menyadari bahwa setiap pintu adalah simbol. Simbol dari lapisan nafs, kelekatan, ilusi, dan ego yang harus ditanggalkan satu demi satu agar jiwa bisa keluar dari penjara bentuk. Setiap pintu yang tertutup adalah izin ilahi, dan setiap pintu yang terbuka adalah rahmat yang tak bisa dipaksakan oleh kehendak pribadi.

Kini, meski kembali ke tubuh dan dunia, penulis tidak sepenuhnya “kembali.” Ada sebagian dirinya yang tetap tinggal di ambang itu, sebagai saksi diam, sebagai pengingat bahwa dunia bukan tujuan, hanya tempat singgah. Ia tahu bahwa penyaksian belum selesai, proses masih terus berjalan, tapi arah telah berubah.

Dan di kedalaman jiwanya, sebuah bisikan terus bergema, bukan dari telinga, tapi dari ruang sunyi di balik kata:

“Jangan berhenti pada cahaya pertama. Teruslah berjalan… sampai yang menyaksikan lenyap dalam Yang Disaksikan.”

Inilah hakikat hidup yang sejati.

Tamat…

Review Series Lengkapnya

Salam bahagia
Setyatuhu Paramarta
SobatPena#2 BIN808


Tertarik menulis dan ingin karyamu dimuat juga?


Yuk bergabung dengan komunitas penulis kami!


📱 Sobat Pena BIN808

Series Navigation<< Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 7)
RELATED POSTS
FOLLOW US

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *