Jakarta, – BIN808.COM || Gelombang keluhan terhadap Dapur Yayasan terus bermunculan dari berbagai wilayah di Indonesia. Masyarakat menyoroti kualitas makanan yang diragukan, kebersihan yang dipertanyakan, dan pelayanan yang jauh dari standar kelayakan. Namun yang paling disesalkan, konsumen justru dilarang memfoto dan menyebarluaskan makanan yang diduga bermasalah. 23/10/2025
Irwan Fauzi, Pemimpin Redaksi Media BIN808 sekaligus pemerhati kebijakan publik, menilai larangan tersebut sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jujur dan terbuka.
“Melarang masyarakat mendokumentasikan fakta lapangan sama saja menutup-nutupi kebenaran. Ini bertentangan dengan azas keterbukaan publik dan etika pelayanan kepada masyarakat,” ujar Irwan, Kamis (23/10).
Menurutnya, larangan dokumentasi tersebut menunjukkan adanya ketakutan terhadap transparansi dan pengawasan publik. Jika makanan yang disajikan oleh Dapur Yayasan memang sesuai standar, seharusnya tidak ada alasan untuk menolak dokumentasi publik.
“Konsumen, apalagi penerima manfaat dari lembaga sosial, tetap memiliki hak yang sama untuk tahu dan menyampaikan kritik. Larangan memfoto makanan yang bermasalah bukan hanya tidak etis, tapi juga melanggar semangat Undang-Undang Perlindungan Konsumen,” tegas Irwan.
Ia juga menekankan, pengawasan terhadap makanan publik harus dilakukan secara terbuka.
“Jangan ketika sudah keracunan baru ramai. Pencegahan dan keterbukaan jauh lebih penting daripada penyesalan di akhir,” katanya.
Laporan Makanan Basi dan Jatah Siswa Tak Diberikan
Beberapa laporan masyarakat yang dihimpun BIN808 menyebutkan bahwa ada makanan yang diduga basi dan tidak layak konsumsi telah dibagikan di sejumlah wilayah. Lebih ironis lagi, dalam beberapa kasus jatah siswa yang seharusnya menerima makanan justru tidak diberikan karena makanan tersebut sudah basi.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar soal pertanggungjawaban pengelola Dapur Yayasan.
“Jika makanan sudah dihitung dengan nominal uang, lalu tidak disalurkan karena basi, bagaimana mekanisme penggantiannya? Apakah ada laporan resmi atau pengembalian nilai anggarannya?” tegas Irwan.
Ia menilai bahwa situasi ini tidak bisa dianggap sepele karena menyangkut hak konsumsi dan hak keuangan penerima manfaat. Ketidakterbukaan dalam mengganti jatah makanan yang gagal disalurkan bisa mengarah pada indikasi penyalahgunaan anggaran atau pelanggaran etika sosial.
“Setiap rupiah yang diperhitungkan untuk makan anak-anak itu amanah. Kalau tidak diberikan karena kelalaian atau ketidaklayakan, maka wajib diganti dan diaudit. Tidak boleh ada ruang abu-abu dalam urusan ini,” lanjut Irwan.
Dasar Hukum Pertanggungjawaban, Audit, dan Keterbukaan Publik
Irwan menegaskan, pengelolaan bantuan makanan dan dana publik harus tunduk pada aturan hukum yang jelas, antara lain:
- 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 298 ayat (1) menegaskan bahwa setiap pengeluaran daerah harus dipertanggungjawabkan dan digunakan sesuai peruntukannya.
- 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 3 menyatakan bahwa penyalahgunaan kewenangan atau anggaran yang merugikan keuangan negara merupakan tindak pidana korupsi.
- 3. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, mengatur bahwa setiap dana publik wajib disertai laporan keuangan dan bukti realisasi yang transparan.
- 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 8 ayat (1) huruf a melarang pelaku usaha memperdagangkan atau menyalurkan barang yang tidak memenuhi standar kesehatan dan keselamatan konsumen.
- 5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Pasal 86 ayat (1) menegaskan bahwa setiap pelaku usaha pangan bertanggung jawab atas keamanan, mutu, dan gizi pangan yang diproduksi atau diedarkan.
- 6. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik. Pasal 3 huruf a dan b menegaskan bahwa keterbukaan informasi publik bertujuan untuk menjamin hak warga negara mengetahui rencana kebijakan publik, program publik, serta proses pengambilan keputusan publik.
- 7. Pasal 9 ayat (1) mewajibkan setiap badan publik untuk menyediakan, memberikan, dan/atau menerbitkan informasi publik secara berkala.
“Ketika makanan basi sudah menimbulkan kerugian bagi penerima manfaat, maka bukan sekadar persoalan etika, tapi bisa masuk ke ranah hukum. Harus ada audit dan evaluasi pertanggungjawaban agar publik tahu ke mana larinya dana yang seharusnya untuk rakyat,” ujar Irwan.
Pernyataan Presiden Soal Transparansi
Irwan mengingatkan bahwa prinsip keterbukaan publik juga telah ditegaskan langsung oleh para pemimpin negara.
- Presiden Joko Widodo menegaskan pentingnya transparansi dan tanggung jawab lembaga sosial terhadap publik sebagai bentuk moralitas pelayanan.
- Presiden Prabowo Subianto, dalam pidato awal pemerintahannya, juga menegaskan bahwa setiap kegiatan yang bersentuhan dengan rakyat harus dijalankan dengan transparansi, keadilan, dan akuntabilitas penuh.
“Kalau kepala negara saja menyerukan keterbukaan, tapi Dapur Yayasan justru menutup diri dan melarang dokumentasi publik, itu tanda ada yang tidak beres,” kata Irwan.
Desakan kepada Otoritas Terkait
Irwan mendesak Badan POM, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Sosial RI untuk segera turun tangan, melakukan pemeriksaan lapangan dan audit menyeluruh terhadap Dapur Yayasan.
“Diamnya otoritas hanya akan memperkuat dugaan publik bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Negara seharusnya berpihak kepada rakyat, bukan pada lembaga yang menutup kebenaran,” ujarnya.
Irwan juga memberikan peringatan keras agar semua pihak tidak menunggu sampai ada korban.
“Jangan ketika sudah keracunan baru semua sibuk mencari kambing hitam. Pencegahan dimulai dari keterbukaan. Kalau kritik dibungkam, artinya mereka sedang bermain-main dengan keselamatan orang lain,” tegasnya.
Irwan menegaskan bahwa lembaga sosial seperti Dapur Yayasan seharusnya menjadi contoh tanggung jawab moral, bukan sumber kecurigaan publik.
“Transparansi adalah dasar kepercayaan. Jika kritik dibungkam, maka kepercayaan publik akan runtuh. Dapur sosial itu bukan ruang rahasia, tapi cermin dari kepedulian. Jika di dalamnya justru ada praktik kotor, maka rakyat berhak tahu dan negara wajib bertindak,” tutupnya Irwan.
(Red)

