
SobatPena – BIN808.COM || Banyak guru agama, penceramah, atau tokoh spiritual hari ini pada hakikatnya adalah para penjual, penjual kata-kata, penjual harapan, penjual janji surga yang belum tentu mereka sendiri pahami. Mereka menjual apa yang seharusnya suci dengan harga popularitas, kekuasaan, atau kekayaan. Yang mereka sampaikan seringkali bukan buah dari pengalaman batin yang mendalam atau perjumpaan sejati dengan kebenaran, melainkan kutipan-kutipan hafalan, narasi lama yang diulang dengan dramatisasi baru, dikemas untuk menarik perhatian, bukan untuk membangkitkan kesadaran.
Kenyataannya, banyak dari mereka bicara soal zuhud sambil duduk di kursi empuk ber-AC, bicara soal neraka sambil menikmati kenyamanan duniawi tanpa rasa gentar sedikit pun. Mereka mengutuk kemaksiatan dari atas mimbar tapi diam saat ketidakadilan merajalela di sekitar mereka. Apa yang mereka jual bukan lagi pencerahan, tapi rasa aman palsu, seolah cukup dengan mengikuti kata-kata mereka, seseorang pasti akan selamat.
Padahal, jalan spiritual bukanlah jalan ramai, bukan pula jalan retorika. Ia sunyi, penuh luka, penuh perjumpaan jujur dengan diri sendiri dan Tuhan. Dan kebenaran, sejatinya, tidak dijual. Ia dihidupi.
Doktrin-doktrin omong kosong itu memang indah di permukaan, seperti lentera yang gemerlap, tapi hampa di dalamnya. Kata-katanya terdengar sakral, sistemnya rapi, hukumnya ketat. Tapi sayangnya, semua itu lebih banyak membentuk kepatuhan buta daripada kesadaran yang terang.
Mereka yang terperangkap di dalamnya, berlomba menghafal dogma, sibuk mengklasifikasi siapa yang suci dan siapa yang najis, siapa ahli surga dan siapa calon neraka, seolah mereka diberi kuasa mutlak atas takdir orang lain.
Mereka lupa bahwa tujuan sejati hidup bukan sekedar menumpuk pahala simbolik atau menghindari dosa kosmetik. Tujuan hidup adalah mengenal, mengenal diri, mengenal sesama, dan pada akhirnya mengenal Dia yang tak terdefinisi.
Namun, di tengah gemuruh doktrin dan hiruk-pikuk fatwa, suara jiwa menjadi sunyi. Kesadaran hakiki tergantikan oleh rasa aman semu yang lahir dari kepatuhan terhadap sistem, bukan dari perjumpaan pribadi dengan Yang Maha.
Kita dituntun untuk mengulang-ngulang ritual, tapi tak pernah diajak bertanya: Untuk apa aku hidup? Apa yang sebenarnya dikehendaki-Nya dariku, sebagai manusia, bukan hanya sebagai pengikut?
Di situlah letak kehilangannya, esensi itu tak lagi dicari, karena sudah digantikan oleh struktur.
Hari ini, gema takbir menggema di seluruh penjuru, menandai tibanya Idul Adha, hari raya qurban. Di jalan-jalan, masjid-masjid, dan lapangan luas, terlihat kesibukan. Sapi dan kambing disiapkan, panitia sibuk membagi daging, umat bersuka cita. Secara syariat, sistem berjalan rapi. Aturan dipatuhi, prosesi ditunaikan. Tapi di balik semua itu, ada satu pertanyaan yang sering kali tenggelam dalam keramaian, apa sebenarnya makna qurban?
Apakah semata soal menyembelih hewan? Apakah cukup dengan berkurban setiap tahun lalu merasa telah mendekat kepada Tuhan?
Qurban sejati bukan hanya tentang darah dan daging. Ia tentang meletakkan ego di atas altar jiwa. Ia tentang melepaskan apa yang paling kita cintai, bukan karena kita membenci dunia, tapi karena kita memilih Allah di atas segalanya.
Ibrahim tidak hanya diuji untuk menyembelih Ismail. Ia diuji untuk menyerahkan hatinya, mengorbankan rasa kepemilikan atas anak, atas cinta, atas harapan duniawi. Dan Ismail, dalam kepasrahannya, menunjukkan bahwa qurban adalah tentang kerelaan menundukkan kehendak pribadi demi kehendak Ilahi.
Namun kini, ritual lebih diingat daripada ruh. Banyak yang berqurban, tapi tak pernah mengorbankan amarah, keserakahan, atau kesombongan. Banyak yang menyembelih kambing, tapi tak pernah menyembelih hawa nafsunya sendiri.
Idul Adha seharusnya menjadi cermin, bukan sekedar seremoni. Sebuah ajakan untuk bertanya dalam hati, apa yang masih aku pertahankan dari hidup ini yang sebenarnya sudah waktunya aku serahkan? Apa yang menghalangiku untuk benar-benar pasrah kepada-Nya?
Karena dalam qurban sejati, bukan hanya hewan yang disembelih, tapi juga segala yang membuat kita jauh dari Tuhan.
Sembelihlah nafsu kebinatangan dalam diri kita. Nafsu yang membuat manusia lebih rendah dari binatang, karena diberi akal namun memilih hidup dengan rakus, buas, dan tanpa arah.
Keserakahan adalah kambing pertama yang seharusnya kita rebahkan di altar jiwa. Kita menimbun harta, kuasa, pujian, seolah dunia ini abadi. Kita berlomba menumpuk, tapi lupa memberi. Dan di hari kurban, alih-alih memaknai sebagai momen melepaskan, kita sering hanya menjadikannya panggung gengsi. Siapa yang menyumbang paling besar, siapa yang disanjung paling lantang.
Nafsu hubungan biologis pun perlu disucikan. Bukan dimatikan, tapi ditundukkan. Karena tubuh bukan tuan atas jiwa, melainkan pelayannya. Tapi hari ini, kita hidup dalam dunia yang memuja hasrat. Cinta dikerdilkan jadi urusan kulit. Syahwat disulap jadi hiburan. Dan manusia pun lupa, bahwa hubungan antar tubuh tanpa kesadaran ruh hanyalah gerak hewani yang dibungkus ilusi kasih.
Sementara itu, amarah, iri, dendam, takabur, semuanya adalah binatang liar di dalam kandang batin kita. Mereka berteriak, meronta, ingin dilepaskan setiap hari. Dan justru itulah hewan kurban sejati. Bukan yang disembelih di depan mata manusia, tapi yang disembelih dalam sepi, di hadapan Tuhan.
Idul Adha adalah panggilan untuk kembali jujur pada diri sendiri. Sudahkah aku menyembelih apa yang harusnya mati dalam diriku? Ataukah aku hanya sibuk membungkus daging, sambil membiarkan ruhku tetap lapar?
Maka makna qurban di era globalisasi dan modernitas ini memang sudah saatnya kita renungkan ulang, bukan untuk mengganti esensinya, tapi untuk menggali kembali kedalaman maknanya agar tetap hidup dan menyentuh jiwa manusia masa kini yang makin terasing dari dirinya sendiri.
Di zaman ketika segala sesuatu serba instan, ketika nilai-nilai diukur dengan angka, profit, dan citra, kurban bukan lagi sekedar ritual penyembelihan hewan, melainkan sebuah panggilan untuk menyembelih ilusi-ilusi modern yang kita puja diam-diam.
Hari ini, kita diperbudak oleh ambisi dan pencapaian. Kita rela mengorbankan waktu, keluarga, bahkan nurani demi mengejar karier, validasi digital, atau gaya hidup yang “terlihat berhasil.” Di sinilah makna kurban menjadi relevan kembali. Qurban adalah momentum untuk menyadari apa yang sebenarnya layak dikorbankan, dan apa yang harus kita pertahankan sebagai inti kemanusiaan.
Di era digital ini, qurban bisa dimaknai sebagai melepas ego digital, menurunkan rasa ingin selalu dilihat, diakui, dan disukai.
Menyembelih keserakahan teknologi, yang membuat kita ingin selalu lebih cepat, lebih banyak, tapi lupa bersyukur. Mengorbankan kenyamanan palsu, demi hidup yang lebih jujur, lebih bermakna, lebih hadir bagi sesama.
Qurban mengingatkan bahwa tidak semua yang modern itu membebaskan, dan tidak semua yang lama itu ketinggalan zaman. Yang penting adalah apakah makna hidup kita makin jernih, atau justru makin kabur.
Karena pada akhirnya, qurban bukan hanya tentang masa lalu Nabi Ibrahim. Itu tentang kita. Hari ini. Di dunia yang penuh suara, apakah kita masih bisa mendengar bisikan jiwa yang berkata:
“Inilah yang harus kau lepaskan, agar kau bisa mendekat.”
Maka kita pun perlu mengingat kembali firman Tuhan bahwa:
“Darah dan daging itu tidak akan sampai kepada-Ku, melainkan ketakwaan kalian yang sampai kepada-Ku.” (QS. Al-Hajj: 37)
Ayat ini adalah pengingat yang sangat kuat, terlebih di zaman sekarang, zaman simbol, citra, dan pertunjukan. Tuhan tak meminta darah. Tuhan tak butuh daging. Tuhan menanti sesuatu yang lebih halus, lebih hakiki, yakni ketakwaan.
Tapi apa itu taqwa? Dan mengapa maknanya perlu terus diperbarui?
Taqwa bukanlah konsep statis. Ia bukan benda yang bisa disimpan dalam kotak, atau dicentang dalam daftar amal. Taqwa adalah kesadaran hidup yang terus berkembang, seperti nafas, seperti detak jantung ruhani. Ia adalah kepekaan batin terhadap kehadiran Tuhan, terhadap nilai kebenaran, terhadap apa yang melukai atau menyembuhkan jiwa.
Di masa lalu, taqwa mungkin diwujudkan dengan menjauh dari berhala dan menjaga lisan dari dusta. Tapi hari ini, berhala itu punya bentuk baru.
Berhala gengsi dan citra digital. Berhala algoritma dan popularitas. Berhala konsumsi, kenyamanan, dan zona aman
Taqwa yang sejati adalah keberanian untuk jujur kepada diri sendiri dalam dunia yang penuh kebohongan rapi. Ia adalah kemampuan untuk memilih kebenaran, walau menyakitkan, walau pedih, walau tidak disukai.
Maka, di zaman ini, ketakwaan bukan hanya soal patuh pada syariat lahiriah. Tapi juga patuh pada suara hati yang murni, bukan ego yang dibungkus dalil. Setia pada keadilan, meski bertentangan dengan kepentingan kelompok. Hidup dengan integritas, bukan hanya menjalankan ritus.
Ketakwaan bukanlah kesempurnaan, tetapi kejujuran untuk terus bertumbuh. Ia hidup, dinamis, berubah seiring zaman, tapi selalu bermuara pada satu hal, kehadiran kita secara utuh di hadapan Tuhan.
Jadi saat kita menyembelih hewan, yang sejatinya sedang diminta Tuhan untuk kita sembelih adalah: Rasa paling benar sendiri. Nafsu yang membungkus amal. Dan kedangkalan ibadah yang tak membawa perubahan dalam diri.
Karena sesungguhnya, Tuhan tidak menanti daging yang kita bawa, tapi jiwa yang telah melewati pembakaran dan keluar sebagai cahaya.
Saatnya kita perbarui cara berpikir, karena jalan menuju Tuhan tidak pernah buntu, hanya pikiran kita yang kadang membekukan diri. Kita terlalu lama hidup dalam pola yang sama, dalam tafsir yang diwariskan tanpa pertanyaan, dalam keyakinan yang dibungkus ketakutan, bukan pencarian.
Padahal, iman yang sejati bukan yang berhenti di hafalan, tapi yang tumbuh melalui perenungan dan keberanian untuk terus bertanya.
Kita perlu membebaskan diri dari pola berpikir yang membatasi Tuhan dalam rumus-rumus tetap. Kita harus berani menengok ulang makna ibadah, makna syariat, makna ketakwaan. Bukan untuk menggantinya, tetapi untuk menyadarkannya kembali agar sesuai dengan jiwa zaman dan kebutuhan manusia modern yang haus akan makna, bukan hanya bentuk.
Puncak kesadaran bukan dicapai dengan banyaknya amal lahiriah semata, tapi dengan transformasi batiniah yang mendalam. Di sanalah tempat segala ritual bermuara. Ketika hati kita tidak hanya taat, tapi juga tercerahkan. Ketika kita tak hanya menjalankan perintah, tapi memahami maknanya dalam denyut kehidupan sehari-hari.
Kesadaran spiritual bukan akhir, tapi proses. Dan proses itu hanya akan terus naik jika kita berani memperbarui cara kita melihat Tuhan, manusia, dan dunia.
Karena kebenaran itu luas, dan Tuhan terlalu agung untuk dibatasi oleh cara berpikir yang stagnan.
Maka, mari kita buka ruang bagi kesadaran baru, kesadaran yang tidak hanya mematuhi, tapi juga menghidupi. Kesadaran yang tidak hanya tahu, tapi menyatu.
Salam bahagia
Setyatuhu Paramarta
SobatPena#2 BIN808
