
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 1)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 2)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 3)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 4)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 5)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 6)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 7)
- Fenomena Mati Suri Sebagai Jalan Mengenal Alam Akhirat (Series 8)
SobatPena – BIN808.COM || Fenomena mati suri memang sesuatu yang tak lazim walaupun banyak orang yang pernah mengalami. Mati suri merupakan kondisi ketika seseorang dinyatakan tidak bernyawa untuk sementara waktu, namun kemudian hidup kembali. Banyak yang meyakini bahwa pengalaman ini menjadi semacam “jendela kecil” menuju alam akhirat. Beberapa orang yang pernah mengalami mati suri menceritakan pengalaman-pengalaman spiritual yang luar biasa: melihat cahaya terang, merasakan kedamaian yang mendalam, hingga bertemu sosok atau suara yang memberi pesan tertentu.
Walaupun belum dapat dijelaskan sepenuhnya oleh ilmu kedokteran atau sains, fenomena ini membuka ruang refleksi bagi banyak orang. Mati suri sering dianggap sebagai kesempatan kedua yang diberikan Tuhan, sebagai pengingat bahwa kehidupan di dunia hanya sementara. Pengalaman ini pun sering kali mengubah pandangan hidup seseorang, menjadikannya lebih religius, rendah hati, dan penuh syukur.
Namun demikian, penting juga untuk menyikapinya secara bijak. Tidak semua pengalaman mati suri bisa dijadikan patokan mutlak tentang kehidupan setelah mati. Tapi setidaknya, fenomena ini mengajak kita untuk merenung lebih dalam tentang makna kehidupan, kematian, dan persiapan menuju akhirat.
Penulis pernah juga mengalami mati suri di usia remaja. Dari pengalaman mati suri tersebut akhirnya perlahan rahasia mati suri mulai terungkap. Benarkah fenomena mati suri yang terjadi pada diri seseorang merupakan kematian yang sesungguhnya? Apakah pengalaman mati suri setiap orang selalu sama? Nah melalui tulisan ini kita akan membedah sedikit keajaiban dari fenomena mati suri yang dialami seseorang.
Ada beberapa kategori mati suri yang dialami seseorang. Pertama: mati suri terjadi karena hadirnya ilmu turunan atau hadirnya ilmu para leluhur. Orang yang mengalami mati suri seperti ini, umumnya setelah ia sadar memiliki kelebihan. Seperti memiliki indra keenam, pandai mengobati penyakit tanpa proses belajar, menjadi ahli supranatural, ahli meramal, dan lain-lain. Dan kebanyakan orang-orang yang ahli di bidang ini karena memang ketitipan ilmu dari para leluhurnya.
Kemudian ada mati suri terjadi bagian dari rekayasa alam bawah sadar. Seseorang yang mengalami mati suri seperti ini biasanya melihat objek-objek yang selama ini ia ketahui dari cerita-cerita. Misalnya: membaca buku tentang alam akhirat, atau mendengar ceramah dari guru-guru agama yang menjelaskan tentang alam akhirat, surga dan neraka, kemudian tentang para malaikat. Nah, cerita-cerita tersebut akhirnya terekam di memori otaknya sampai ke alam bawah sadar, dan tatkala ia mengalami mati suri, koma, atau pingsan, maka objek-objek tersebut lah yang muncul dilihatnya.
Dari kedua fenomena mati suri tersebut tidak menjamin bahwa kelak jiwa seseorang yang mati akan menyaksikan apa yang dialami oleh orang yang mati suri tersebut. Sebab tidak semua jiwa yang meninggal dunia mengalami atau merasakan hal yang sama dari jiwa-jiwa yang sudah mati sebelumnya.
Umumnya orang yang pernah mengaku mati suri masuk pada kategori yang kedua. Yakni, mati suri karena rekayasa alam bawah sadar. Ini menarik sekali untuk kita bahas. Karena mati suri seperti ini berhubungan dengan kinerja otak manusia.
Kita semua tahu bahwa Tuhan menciptakan otak manusia dengan sangat sempurna.
Seorang yang ahli atau pandai meneliti otak dan organ tubuh manusia yang biasa disebut ahli anatomi dan ahli neurologi menjelaskan bahwa otak manusia banyak fungsinya. Ada otak besar otak kecil, ada otak kanan otak kiri, ada pula yang disebut batang otak, sistem limbik, kemudian amigdala, hipocampus, sampai pada kelenjar pineal dan masih banyak lagi nama-nama bagian otak manusia.
Masing-masing bagian dari otak manusia ini memiliki fungsi. Ada otak fungsinya untuk bermimpi. Makanya kita saat tidur bisa bermimpi. Karena mimpi itu nyata, ada objeknya, tetapi bukan kenyataan. Ada otak fungsinya untuk menghayal, ada otak fungsinya untuk berpikir, berimajinasi, berhalusinasi, berilusi, juga ada otak fungsinya untuk mencipta, sugesti, dan lain-lain.
Kemudian ada otak kosong di tengah yang fungsinya hanya menerima informasi dari luar diri. Lalu fungsi otak ini akan merekam dan menyimpan segala macam informasi, baik yang didengar, dilihat maupun diucapkan.
Apabila informasi yang diterima salah, namun diyakini sebagai suatu kebenaran, maka otak yang fungsinya pencipta akan menciptakan suatu objek sesuai dengan apa yang telah diyakini. Nah, objek-objek seperti inilah yang kadang muncul di saat seseorang mengalami pingsan atau mati suri.
Contoh: cerita tentang surga dan neraka dan malaikat penyiksa. Para tokoh-tokoh agama seringkali bercerita tentang alam akhirat, yang dibingkai dengan kenikmatan surga dan penderitaan neraka. Cerita-cerita tersebut bagian dari persepsi maupun argumen dari para tokoh-tokoh agamawan, yang sebenarnya itu tidak mutlak kebenarannya. Tetapi apabila itu diyakini sebagai kebenaran, maka otak kita yang fungsinya pencipta akan menciptakan objek-objek yang sesuai dengan cerita-cerita tersebut. Sampai pada akhirnya ketika jiwa keluar dari raga maka objek-objek tersebutlah yang tampak terlihat jelas.
Hubungan antara jiwa dan otak manusia sangat terkait. Bahkan Ruh pun “bersemayam” di b
agian kepala. Tepatnya bagian depan. Jadi, apapun yang kita pikirkan dan persepsikan tentang alam akhirat, neraka, surga, itu semua hanya ada di kepala. Persepsi-persepsi tersebut akhirnya menjadi bayangan yang selalu ada ke mana pun jiwa berada.
“Ana ‘inda ẓanni ‘abdī bī, fa-l-yaẓunn biya mā shā’a.” (Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku, maka hendaklah ia berprasangka kepada-Ku sesuai yang ia kehendaki.) Kalimat ini adalah hadits Qudsi yang sangat familiar di kalangan umat beragama Islam. Aku yang dimaksud di sini adalah Tuhan, Tuhan Maha Pencipta alam semesta dan Pencipta manusia. Namun ada kejanggalan dari kalimat tersebut, seolah Tuhan sebagai Sang Pencipta tidak memiliki wewenang khusus, sehingga kita manusia bisa “memperlakukan” Dia dengan kehendak bebas.
Akan tetapi, apabila seorang hamba memiliki kesadaran tentang “keberadaan” Tuhan pada dirinya, maka kalimat “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku” menjadi tepat. Sebab, Tuhan dengan yang diciptakan-Nya adalah satu.
Dengan kesadaran bahwa Tuhan dan ciptaan-Nya menyatu dalam keberadaan yang hakiki, maka hubungan antara manusia dan Tuhan tidak lagi bersifat dualistik yang satu menciptakan dan yang lain hanya menerima. Dalam tingkat kesadaran ini, manusia tidak lagi memandang Tuhan sebagai sosok yang jauh, tetapi sebagai realitas yang hadir di dalam dirinya, di balik tiap gerak napas dan lintasan pikiran.
Maka, ketika hadits Qudsi itu menyatakan, “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku,” hal tersebut bukan berarti Tuhan tunduk pada kehendak manusia, melainkan menunjukkan bahwa kualitas hubungan seorang hamba dengan Tuhannya dibentuk oleh persepsi dan kesadarannya sendiri. Jika prasangkanya baik, maka Tuhan akan tampak dalam hidupnya sebagai sumber kebaikan, rahmat, dan pertolongan. Sebaliknya, jika prasangkanya buruk, penuh keraguan, ketakutan, dan ketidakpercayaan, maka pengalaman spiritualnya akan menjadi buram.
Inilah letak keistimewaan manusia yang diberi kemampuan untuk mengenal dan menyadari keberadaan Tuhan melalui perjalanan batin dan pemaknaan. Dalam makna ini, “prasangka” bukan sekadar pikiran positif atau negatif, tetapi cerminan dari kedalaman iman dan pengenalan diri. Karena mengenal diri sejatinya adalah mengenal Tuhan, sebagaimana ungkapan: “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu.” (Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.)
Dalam dimensi ini pula, kehendak bebas manusia menemukan nilai sejatinya. Bukan sebagai bentuk penentangan terhadap kehendak Ilahi, melainkan sebagai wahana untuk menyatu dengan kehendak itu sendiri dalam kepasrahan yang sadar, dalam keyakinan yang tumbuh dari cinta, bukan dari ketakutan.
Kalimat “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku” dapat dibaca sebagai pengakuan akan peran sentral dari keyakinan batin dalam membentuk relasi spiritual seseorang.
Dalam psikologi, ada konsep self-fulfilling prophecy, yaitu ketika keyakinan seseorang terhadap suatu hal mempengaruhi sikap dan tindakannya, sehingga hal itu menjadi kenyataan. Hadits ini seolah mengisyaratkan prinsip yang serupa dalam hubungan manusia dengan Tuhan: keyakinan yang mendalam akan kasih sayang dan rahmat Tuhan akan membentuk cara seseorang menjalani hidup dengan harapan, ketenangan, dan kepercayaan diri.
Sebaliknya, apabila seseorang selalu mencurigai Tuhan, merasa Tuhan murka, menjatuhkan hukuman, penyiksa, atau tidak menyayanginya, seperti yang sering kita dengar dari kodbah para guru agama, maka cara ia memandang hidup pun akan menjadi berat, gelap, dan penuh kecemasan. Ini bukan berarti Tuhan berubah-ubah sesuai anggapan manusia, tetapi karena pikiran manusia menciptakan pengalaman spiritualnya sendiri.
Dalam kerangka ini, manusia bukan menciptakan Tuhan sesuai bayangannya, melainkan membuka atau menutup pintu kesadarannya terhadap sifat-sifat Tuhan yang memang Maha Luas. Tuhan tidak berkurang karena disalahpahami, dan tidak bertambah karena dipahami dengan benar. Namun manusialah yang diuntungkan atau dirugikan oleh prasangkanya sendiri.
Dengan demikian, hadits ini juga dapat dimaknai sebagai ajakan untuk mengasah batin, membangun relasi yang sehat dengan Tuhan, yang pada akhirnya juga berdampak langsung pada kesehatan mental dan emosi seseorang. Tuhan menjadi sosok yang menguatkan, bukan menakutkan. Tempat pulang, bukan tempat menghindar.
Lalu, apa hubungannya antara hadist tersebut dengan pengalaman seseorang saat mati suri. Nah, di sinilah kita perlu kecerdasan saat mendengar cerita pengalaman seseorang yang mati suri.
Di atas sudah dijelaskan bahwa setiap pengalaman mati suri seseorang berbeda-beda tergantung pada tingkat pemahaman dan kesadaran masing-masing diri. Apabila kesadaran seseorang masih rendah, mudah dipengaruhi oleh persepsi atau argumen dari luar dirinya, maka jiwanya akan dibentuk oleh persepsi yang diyakininya.
Otak sebagai perangkat penting dalam berpikir dan memahami kehidupan akan menciptakan suatu peristiwa yang akan menentukan kehidupan diri kita. Jiwa dengan perasaannya akan dipengaruhi oleh apa yang kita pikirkan dan kita yakini.
Nah, dalam hal ini kita jangan mudah percaya terhadap ucapan atau kata-kata yang disampaikan oleh siapapun yang berhubungan dengan jiwa atau ruh manusia. Karena banyak umat yang beragama gagal dalam memahami firman Tuhan di dalam kitab sucinya.
Telah saya tulis di bagian atas bahwa, hubungan antara jiwa dan otak atau pikiran manusia sangat terkait. Bahkan Ruh pun “bersemayam” di bagian kepala. Tepatnya bagian depan. Jadi, apapun yang kita pikirkan dan persepsikan tentang alam akhirat, neraka, surga, itu semua hanya ada di kepala. Persepsi-persepsi tersebut akhirnya menjadi bayangan yang selalu ada ke mana pun jiwa berada.
Dan karena bayangan itu berasal dari persepsi yang tertanam dalam pikiran, berupa doktrin dan dogma, maka jiwa membawa serta “dunia dalam” yang dibentuk oleh keyakinan, pengalaman, dan imajinasi seseorang. Ruh, sebagai inti kesadaran, tidak hanya menjadi pengamat, tetapi juga perumus makna dari apa yang dialami. Maka, apabila seseorang hidup dengan pemahaman yang penuh cinta, pengharapan, dan ketenangan, bayangan yang menyertainya akan cenderung damai. Sebaliknya, jika hidup dipenuhi rasa takut, kemarahan, dan kebencian, maka gambaran yang dibawa ruh pun akan menggambarkan hal-hal yang serupa, seolah-olah neraka itu sudah mulai dialami sejak di dunia.
Dengan demikian, surga dan neraka bukan sekedar tempat setelah kematian, melainkan pengalaman batiniah yang bisa dimulai di dalam kepala, lalu menetap dalam jiwa. Jiwa yang telah terlatih melihat cahaya diri, akan membawa terang itu ke mana pun ia pergi, bahkan melewati batas kehidupan dunia.
Secara ilmiah, hubungan antara jiwa (dalam konteks kesadaran) dan otak telah menjadi pusat kajian dalam bidang neurofisiologi dan psikologi kognitif. Otak manusia, khususnya bagian prefrontal cortex di area depan kepala, merupakan pusat kendali atas fungsi-fungsi eksekutif seperti perencanaan, pengambilan keputusan, kesadaran diri, serta konstruksi makna dan persepsi terhadap realitas, termasuk realitas non-fisik seperti konsep surga, neraka, atau alam akhirat.
Ketika seseorang memikirkan atau merenungkan gagasan metafisik atau spiritual, seperti kehidupan setelah mati, otak sebenarnya sedang mengaktifkan sejumlah jaringan saraf kompleks. Penelitian dengan fMRI (functional Magnetic Resonance Imaging) menunjukkan bahwa pengalaman religius atau spiritual mengaktifkan area-area otak seperti:
Default Mode Network (DMN): berkaitan dengan introspeksi, ingatan autobiografis, dan kesadaran diri.
Temporoparietal Junction (TPJ): berperan dalam membentuk pemahaman tentang “diri” versus “yang lain”, termasuk pengalaman “transenden”.
Prefrontal Cortex: berfungsi dalam menyaring persepsi dan menyusun narasi logis terhadap pengalaman abstrak.
Dengan kata lain, persepsi tentang kehidupan setelah mati dan makna keberadaan tidak hanya “disimpan” dalam keyakinan, tapi benar-benar diolah dan dialami oleh sistem saraf otak. Maka, pengalaman spiritual bukanlah hal yang lepas dari kerja otak, melainkan salah satu ekspresi tertinggi dari kompleksitas kognitif manusia.
Namun, para ahli juga masih memperdebatkan apakah kesadaran (jiwa) sepenuhnya merupakan produk otak, atau ada “entitas” yang lebih dalam dari aktivitas biologis. Inilah titik temu antara sains dan filsafat, di mana ilmu mencoba memetakan fenomena, dan filsafat bertanya: “apakah yang kita sebut jiwa hanyalah ilusi yang dihasilkan otak?”
Dari pengalaman spiritual penulis saat memahami perjalanan mati suri, bahwa apa yang disaksikan saat itu bagian dari rekayasa otak atau alam bawah sadar. Semua yang disaksikan hanya bayang-bayang dari keyakinan selama ini tentang alam akhirat, surga dan neraka, juga termasuk semua yang disaksikan di sana. Karena setiap orang membawa keyakinannya masing-masing, keyakinan akan hidup setelah mati yang dipersepsikan dari pikiran orang lain, bukan dari pengalaman batin.
Alam akhirat adalah alam kekosongan tanpa batas. Tidak ada objek apapun saat berada di sana kecuali hanya cahaya yang terang benderang. Nah, kitalah yang akan membentuk objek apapun di tempat itu sesuai “prasangka” kita.
Ini menarik sekali untuk kita bahas bersama, di luar ekspektasi kita yang selama ini kita menerima saja penjelasan guru-guru agama berdasarkan arti yang tercatat di dalam ayat-ayat kitab suci.
Sekali lagi saya jelaskan di sini bahwa alam akhirat adalah alam tanpa batas, alam kekosongan yang tak ada apapun. Para guru-guru agama kadang membuat persepsi yang berbeda dengan menyatakan bahwa alam akhirat adalah tempat pengadilan terakhir hidup manusia di dunia dengan siksaan neraka dan kenikmatan surga.
Pemahaman tentang alam akhirat juga sangat bergantung pada keyakinan, pengalaman spiritual, dan sudut pandang masing-masing individu atau tradisi keagamaan. Bagi sebagian orang, alam akhirat adalah dimensi metafisik yang tidak terikat ruang dan waktu, tempat di mana jiwa mengalami bentuk eksistensi yang lebih tinggi atau lebih murni. Di sisi lain, sebagian mempercayai bahwa akhirat adalah kelanjutan hidup yang nyata, penuh gambaran simbolik tentang balasan atas amal manusia selama hidup di dunia.
Dalam tradisi mistik, alam akhirat seringkali digambarkan sebagai keadaan kesadaran murni, di mana ego telah lebur dan hanya hakikat diri sejati yang tersisa. Tidak ada surga atau neraka dalam bentuk fisik, melainkan kondisi jiwa yang mencerminkan keadaan batin selama hidup. Jiwa yang tenang akan menemukan kedamaian, sedangkan jiwa yang terikat pada dunia akan tersesat dalam kekacauan batinnya sendiri.
Pemahaman seperti ini sering dianggap abstrak dan sulit diterima oleh nalar yang terbiasa dengan logika dunia fisik. Namun justru di situlah letak misteri alam akhirat. Alam akhirat bukan sesuatu yang bisa dipahami sepenuhnya dengan pikiran, melainkan diselami dengan kesadaran.
Para filsuf besar, seperti Plato, Ibn Sina, hingga Immanuel Kant, memiliki pandangan berbeda tentang “akhir” dari kehidupan manusia.
Plato, misalnya, dalam dialog Phaedo, memandang jiwa sebagai entitas abadi yang terpisah dari tubuh. Kematian adalah saat jiwa dibebaskan dari “penjara” tubuh fisik dan kembali ke dunia yang murni. Dalam pandangan ini, alam akhirat adalah kondisi ideal di mana jiwa menemukan pengetahuan sejati, karena tidak lagi terhalang oleh dunia indrawi.
Ibn Sina (Avicenna), seorang filsuf Islam, mengembangkan teori bahwa jiwa manusia bersifat immaterial dan abadi. Menurutnya, setelah kematian, jiwa tidak lagi terikat pada ruang dan waktu, melainkan hidup dalam bentuk yang tak terbatas, dan menikmati atau menderita sesuai dengan tingkat pengetahuannya tentang kebenaran selama di dunia. Alam akhirat dalam pemikiran Ibn Sina, lebih merupakan kelanjutan keadaan intelektual jiwa, bukan tempat keberadaan surga atau neraka fisik.
Sementara itu, Kant memandang alam akhirat dalam kerangka etika praktis. Menurutnya, keberadaan Tuhan dan kehidupan setelah mati tidak bisa dibuktikan secara rasional, tetapi tetap perlu diterima sebagai asumsi yang diperlukan agar hukum moral masuk akal. Jadi, akhirat berfungsi sebagai jaminan keadilan akhir bagi tindakan manusia yang tidak selalu mendapat balasan setimpal di dunia.
Dengan demikian, pandangan filosofis tentang alam akhirat lebih menekankan makna simbolis, eksistensial, dan etis, daripada pemahaman harfiah. Ia mengajak manusia untuk merenungkan makna hidup dan kematian, serta mencari kebenaran yang melampaui batas-batas dunia fisik.
Bersambung…
Lanjutkan membaca ke >> Series 2
Salam bahagia
Setyatuhu Paramarta
SobatPena#2 BIN808
Tertarik menulis dan ingin karyamu dimuat juga?
Yuk bergabung dengan komunitas penulis kami!
📱 Sobat Pena BIN808
